ARTIKEL PENGAWAS SEKOLAH "MODEL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS), ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN IMPLEMENTATIF"
MODEL
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS), ANTARA
A b s t r a k
PELAKSANAAN
UU No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, telah membawa konsekuensi logis yang mengharuskan
pendidikan dilimpahkan pengelolaan dan pelaksanaannya ke pemerintah daerah, melalui
menjadi desentralisasi pendidikan, yang ditingkat satuan pendidikan pun
pelaksanaan desentralisasi itu menjadi otonomi sekolah. Pelaksanaan otonomi
sekolah sebagai bentuk otonomi pendidikan kemudian melahirkan satu model
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang disebut Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), di mana sekolah diberi kewenangan dan tanggungjawab yang lebih
besar untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan
sekolah serta masyarakat, sehingga sekolah diharapkan menjadi lebih mandiri dan
berdaya dalam mengembangkan potensi sekolah dalam mencapai tujuan dan mutu
pendidikan. Namun kenyataan yang muncul dari awalnya hingga saat ini, model MBS
dalam desentralisasi pendidikan ternyata tidak berjalan optimal dan belum
menyentuh makna yang sebenarnya, MBS hanya menjadi jargon dan abu-abu, karena
desentralisasi pendidikan dipenuhi dengan kepentingan politik di daerah,
sehingga pencapaian mutu dan layanan pendidikan sulit dicapai. Agar MBS di era
reformasi mampu berjalan optimal dan sesuai dengan harapan serta tujuan
pendidikan, maka diperlukan revitalisasi dan implementasi pelaksanaan MBS dilapangan
dengan paradigma baru sesuai dengan arah, makna dan tujuan MBS yang sebenarnya
dengan melakukan upaya sadar dengan melibatkan warga sekolah, masyarakat dan pemerintah
secara bersama dalam untuk merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan membuat
keputusanmelalui sebuah berkomitmen kuat
untuk membangun pendidikan Indonesia sebagai asset masa depan membangun
sumberdaya manusia secara kontinyu dan berkesinambungan, yang dilakukan melalui
revitalisasi dan implementasi MBS dalam bentuk restruktursasi /reorganisasi
serta tata kelola organik yang berkelanjutan, refigurisasi mind-set, heart-set, skill-sett and action-set sehingga lebih
berdaya untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan, serta melakukan rekulturisasi
penanaman nilai-nilai yang dianut sekolah sebagai sikap dan prilaku. Dalam
implementasinya, sekolah harus mulai membangun diri dengan melibatkan semua
unsur sekolah secara partisipatif, demokratis, adaptif, kreatif, inovatif,
terbuka, transparan dan akutabilitas dengan harapan melalui perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan pengambilan keputusan secara bersama, sekolah akan
mampu berkompetisi, berinovasi, berkreasi sehingga menjadi sekolah yang
memiliki nilai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dalam mutu dan
layanan pendidikan secara berkelanjutan.
----------------------
*) Pengawas
Sekolah Pendidikan Menengah di Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung
Pendahuluan
Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai revisi
dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah membawa konsekuensi perubahan juga
dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia, yaitu dengan diberlakukannya
sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia.
Desentralisasi
pendidikan merupakan pemberlakuan otonomi (penyelenggaraan) pendidikan yang
semula sentralistik kemudian diserahkan tanggung jawab pengelolaanya kepada
pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal itu terjadi
karena daerah dianggap lebih tahu
potensi, keinginan dan kebutuhan pendidikan di masyarakat, sehingga
sebaiknya pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dilakukan langsung oleh
pemerintah daerah.
Penjabaran bentuk
desentralisasi penyelenggaraan pendidikan di tingkat kabupaten/kota pun
kemudian mengalami perubahan, paradigma yang muncul kemudian, bahwa sebaiknya pengelolaan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan (sekolah) pun sebaiknya diserahkan ke sekolah dalam bentuk
otonomi sekolah, dengan asumsi bahwa sekolah lebih tahu banyak tentang apa dan
bagaimana kebutuhan serta upaya-upaya apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan
dan pencapaian tujuan pendidikan. Pemberian kewenangan kepada sekolah untuk
mengatur dan mengurus sendiri kepentingan warga sekolah menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan kemudian di kenal dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Menurut Slamet (2000), essensi
MBS adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan pendidikan pendidikan nasional yang berlaku. Pengambilan
keputusan partisipatif adalah cara mengambil keputusan yang melibatkan
kelompok-kelompok kepentingan sekolah, terutama yang akan melaksanakan dan yang
akan terkena dampak keputusan. Dengan
kata lain bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada sekolah dalam mengatur,
mengelola sendiri penyelenggaraan pendidikan secara bersama dengan warga
sekolah, diharapkan akan menimbulkan dampak implisit kepada sekolah sebagai
bentuk dari upaya pencapaian tujuan yang diinginkan.
Sekolah sebagai ujung
tombak penyelenggaraan proses pendidikan, merupakan orang yang lebih tahu banyak
tentang karakteristik dan potensi sekolah. Sehingga sudah selayaknyalah
kewenangan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan diserahkan kepada sekolah
dalam bentuk otonomi atau kemandirian sekolah, di mana pengelolaan dan
penyelenggaraanya harus sesuai dengan rambu-rambu dan koridor penyelenggaraan
pendidikan pendidikan nasional seperti yang digariskan oleh pemerintah pusat.
MBS
: Makna dan Tujuan dalam Desentralisasi Pendidikan
Salah satu permasalahan
krusial pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar dan menengah (Kemdiknas, 2011:1). Rendahnya mutu pendidikan itu terjadi
karena sistem pendidikan yang dibangun di Indonesia masih bersifat
sentralistik, di mana semua kebijakan pembangunan pendidikan masih diatur dan
dikelola oleh pemerintah pusat, sehingga penyelenggaraan pendidikan tidak
menyentuh proses, karena tidak sejalan dan sesuai dengan kondisi, potensi dan
lingkungan tempat proses pendidikan
dilakukan.
Manajemen menjadi
prasayarat berjalannya program pendidikan secara sistematis dan kontinyu harus
menjadi sebuah sistem dalam lembaga pendidikan, dan jangan manajemen hanya
sebagai lips service, pemanis lidah,
tapi kosong dalam praktik. Manajemen sebagai sistem berarti menjadi aturan main (rules of the game) yang mengikat
seluruh person yang ada di dalamnya, walaupun terjadi pergantian kepemimpinan,
sistem tetap berjalan, dan bukan berganti pemimpin berganti sistem seperti
sinyalemen yang ada di negara ini (Asmani, 2009:82).
Munculnya otonomi
daerah dan kemudian otonomi sekolah membuat perubahan dan paradigma baru sistem
pendidikan di Indonesia, pendidikan tidak lagi bersifat sentralistik, tetapi menjadi
desentralistik. Sekolah kemudian menjadi sub sistem yang penting dalam
penyelenggaraan proses dan pencapaian mutu pendidikan, sehingga sistem ini
diharapkan akan mampu menciptakan tercapainya proses pendidikan sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Perubahan paradigma baru model pengelolaan
pendidikan di sekolah melalui otonomi (kemandirian) sekolah kemudian dengan
nama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model
pengelolaan yang memberikan otonomi kepada sekolah, memberikan
fleksibelitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
(guru, peserta didik, kepala sekolah, dan karyawan) dan masyarakat (orang tua
peserta didik, alumni, tokoh masyarakat
ilmuwan, dan pengusaha) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Kemdiknas, 2011:26).
Menurut Slamet (2000),
secara empirik MBS memang perlu diterapkan karena dilapangan menunjukkan
kenyataan sebagai berikut :
(1) Manajemen
berbasis pusat yang selama ini dipraktekkan memiliki banyak kelemahan;
(2) Sekolahlah
paling memahami permasalahan disekolahnya;
(3) Konsep
partisipasi warga sekolah dalam mengembangkan potensi sekolah yang akan
memunculkan semangat “rasa memiliki” dan “rasa tanggungjawab”;
(4) Adanya
konsep birokratik yang bertentangan dengan semangat jiwa kependidikan yang
menyebabkan tidak munculnya semangat keterbukaan dan demokrasi, yang berujung
kepada terpasungnya kreativitas guru.
Akibat dari kenyataan
tersebut, memang sebaiknya sekolah dan guru diberi keleluasaan untuk
mengembangkan diri dan sekolah sebangai bentuk tanggung jawab pengembangan
otonomi pendidikan yang berujung kepada upaya pengembangan kreativitas diri dan
sekolah sebagai bentuk pencapaan mutu pendidikan yang berbasis keunggulan
sekolah. Semangat MBS perlu dikembangkan sebagai upaya kreatif mengembangkan
semangat partisipatif, demokratis dan bertanggungjawab yang akan berujung
kepada semangat rasa memiliki sejalan dengan jiwa profesional guru dalam
mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
MBS atau otonomi
sekolah adalah otonomi (penyelenggaraan) pendidikan yang memberikan kewenangan
dan keleluasaan pengelolaan penyelenggaraan pendidikan ditingkat sekolah
sebagai suatu sistem yang melibatkan semua unsur sekolah dan stakeholder secara partisipatif dalam
mengembangkan dan membangun pendidikan sebagai upaya pencapaian kualitas,
produktivitas, efektivitas, efisiensi dan efisiensi eksternal yang memunculkan
inovasi dan keunggulan kompetitif sekolah dengan sekolah lain sebagai upaya bentuk
peningkatan mutu pendidikan. Menurut Arcaro (1995), Pencapaian mutu dalam pendidikan akan terjadi ketika
semua unsur sekolah seperti kepala sekolah, guru, staff dan semua warga sekolah
mengembangkan sikaf yang baru yang berfokus pada kepemimpinan, teamwork, kerjasama,
akuntabilitas, dan kesamaan tujuan.
Pemberian otonomi
pendidikan yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap
gejala-gejala yang muncul di masyarakat, serta upaya peningkatan mutu
pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen
yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan
sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna
mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah (Umiarso, 2011: 47).
Tujuan dari Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia yaitu (1) meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian, fleksibiltas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama,
akuntabilitas, kesinambungan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumberdaya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedualian warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan
keputusan bersama; (3) meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua,
masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; (4) meningkatkan kompetisi
yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai, dan (5)
meningkatkan efisiensi, relevansi dan pemerataan pendidikan di daerah di mana
sekolah itu berada (Kemdiknas, 2011:30).
Dari gambaran itu menurut
Slamet (2000), MBS bertujuan untuk “memberdayakan“ sekolah terutama sumberdaya
manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan
masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, felsibilitas, dan
sumberdaya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang
bersangkutan. Model MBS adalah pemberdayaan semua komponen sekolah dalam upaya melaksanakan
dan mencapai tujuan sekolah. Pemberdayaan
adalah suatu proses memampukan, memfasilitasi, memudahkan dan membantu seseorang
sehingga yang bersangkutan memiliki kewenangan dan tangungjawab untuk melakukan
sesuatu secara ikhlas dan independen untuk mencapai tujuan/ekspektasi
organisasi atau individu. Makna “berdaya” adalah tingkat kemandirian
tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif
sekaligus. Dalam MBS makna memberdayakan memiliki arti semua warga sekolah
memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah sesuai dengan batas-batas yuridiksinya.
Model MBS dalam otonomi pendidikan dan otonomi
sekolah merupakan upaya dengan pendekatan sistem yang diharapkan dapat
menumbuhkan kemandirian sekolah, kompetitif, inovatif serta mampu secara
kreatif menciptakan efektivitas dan efisiensi dengan pendekatan manajemen
organisasi untuk tercapainya mutu dan tujuan pendidikan nasional.
Manajemen
Pendidikan dalam Konsep MBS
Manajemen pendidikan
merupakan serangkaian kalimat yang memiliki makna tacit dan explicit dalam
manajemen pengetahuan sebagai suatu komponen yang saling berkait dalam
pengelolaan pendidikan. Makna tacit
atau yang tak terlihat, bahwa manajemen pendidikan merupakan sebuah domain
pengetahuan yang dimiliki oleh seorang manajer dan warga sekolah sebagai sebuah
assset organisasi yang memang harus dikembangkan sebagai sebuah sumberdaya.
Makna explicit manajamen pendidikan
yakni sesuatu domain yang dimiliki oleh organisasi sekolah secara nyata yang terlihat
yang sangat diperlukan pengelolaannya berdasarkan prinsif-prinsif manajerial
sebuah organisasi yang akan berproses sehingga tercapainya tujuan.
Wujud impelementatif
dari mengelola sumberdaya tersebut harus dilakukan secara sinergis, terpadu, aspiratif,
partisipatif, kooperatif, kreatif dan terkoordinasi sehingga akan memunculkan
semangat membangun organisasi secara partisifatif dan demokratif yang bertujuan
tercapainya tujuan. Kemampuan mengelola dan mengkoordinasikan segala unsur
manajerial sebagai suatu proses dengan melibatkan semua unsur organisasi secara
efektif dan efisien untuk pencapaian tujuan pendidikan itulah yang kemudian
menjadi makna manajemen pendidikan.
Menurut Mulyasa (2007),
manajemen pendidikan merupakan proses pengembangan kegiatan kerjasama
sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Proses
pengendalian kegiatan kelompok tersebut mencakup perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling) sebagai suatu proses untuk
menjadikan visi menjadi aksi. Menurut Bush (2003), manajemen pendidikan adalah
bidang studi dan kegiatan yang bersangkutan dengan operasionalisasi organisasi
pendidikan. Sedangkan menurut Usman (2011), manajemen pendidikan sebagai seni
dan ilmu mengelola sumberdaya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien. Menurut Arikunto dan Yuliana (2008), manajemen
pendidikan adalah serangkaian kegiatan yang menunjukkan kepada suatau kerjasama
dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan pendidikan. Pada hakekatnya dari
berbagai tujuan manajemen pendidikan di atas adalah manusia melakaukan
kerjasama, suatu proses sistematik, serta adanya pemberdayaan sumber-sumber
yang didayagunakan. Secara sederhana dapat disimpulkan, bahwa manajemen
pendidikan dapat dipahami sebagai ilmu, seni dan profesi dari sebuah proses
atau aktivitas mengelola sumber daya pendidikan dalam mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien.
Dengan paradigma baru
model manajemen pendidikan berbasis Manajemen Berbasis Sekolah telah memunculkan
dan menghasilkan pergeseran pendekatan manajemen yang semula sentralistik ke
desentralistik. Adapun bentuk-bentuk pergeseran itu menurut Slamet (2000), dan
Kemdiknas (2011) antara lain :
1)
Dari sub-ordinasi menuju otonomi
2)
Dari pengambilan keputusan terpusat
menjadi keputusan partisipatif
3)
Dari ruang gerak kaku menuju ruang gerak
luwes
4)
Dari pendekatan birokratis menuju
pendekatan profesional
5)
Dari manajemen sentralistik menuju
manajemen desentralistik
6)
Dari kebiasaan diatur menuju kebiasaan
motivasi diri
7)
Dari overregulasi menuju deregulasi
8)
Dari mengontrol menuju mempengaruhi
9)
Dari mengarahkan menuju memfasilitasi
10) Dari
menghindari resiko menuju mengolah resiko
11) Dari
menggunakan uang semuanya menuju menggunakan uang seefisien mungkin
12) Dari
individu yang cerdas menuju teamwork yang kompak dan cerdas
13) Dari
informasi terpribadi menuju informasi terbagi
14) Dari
pendelegasian menuju pemberdayaan
15) Dari
organisasi hirarkis menuju organisasi datar, dan
16) Dari
sistem linear menuju sistem dinasmis.
Dari gambaran di atas, sebenarnya
pengelolaan sekolah dengan manajemen berbasis sekolah akan mampu menghasilkan
output sebagai sebuah sistem kerja organisasi yang efisien, efektif, inovasatif,
menjamin kualitas kehidupan kerja, dan bermoral kerja tinggi. Namun dalam
kenyataannya implementasi dilapangan sebelum sepenuhnya menyentuh harapan yang
diinginkan. Kegagalan implementasi itu dikarenakan penyelenggaraan pendidikan
sebagai sebuah organisasi (entitas) belum sepenuhnya dikelola berdasarkan
konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang baik, serta tidak dikelola oleh
seorang pemimpin yang memiliki leadership
yang mumpuni sebagai menejer pendidikan. Sekolah sebagai sebuah organisasi (entitas)
akan mampu menjadi sebuah organisasi jika dikelola dengan prinsif-prinsif
manajemen berbasis sekolah (MBS) yaitu (a)
prinsif kemandirian, (b) prinsif kemitraan atau kerjasama, (c) prinsif
partisipasi, (d) prinsif keterbukaan, dan (e) prinsif akuntabilitas. Bahkan
konsep MBS ini juga harus menyentuh konsep organisasi modern dengan menerapkan
konsep manajemen mutu terpadu (MMT) atau Total
Quality Management (TQM). TQM menurut Sallis (2011) adalah sebuah filosofi
tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat
praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan,
dan harapan para pelanggannya, saat ini danuntuk masa yang akan datang.
Menurut Hensler dan
Brunell (1993) dalam Usman (2011),
prinsif utama dari Manajemen Mutu Terpadu (MMT) antara lain yaitu :
a)
Tercapainya
kepuasan pelanggan
Sekolah
sebagai unit penyelanggara pendidikan sebagai pelayan jasa yang melakukanan
pelayanan jasa pendidikan harus memberikan pelayanan bermutu kepada
pelanggannya, yaitu pelanggan ekternal (orang tua, pemerintah, dan masyarakat
termasuk komite sekolah), dan pelanggan internal (siswa, guru, dan staff tata
usaha). Pelayanan bermutu ditentukan oleh pelanggan yang memiliki makna
tercapainya kesesuaian dengan spesifik-spesifik tertentu. Kepuasan pelanggan
ditentukan oleh pelayanan bermutu. Makna mutu menurut Sallis (2011), bahwa mutu
atau kualitas adalah sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan
kebutuhan seseorang atau keselompok orang. Sedangkan menurut Garvin dan Davis
(1994) dalam Onisimus (2011), mutu
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga
kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
pelanggan atau konsumen. Dari gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa mutu
adalah nilai kepuasan pelanggan atas suatu produk barang atau jasa dihasilkan
karena memiliki nilai lebih dari yang diharapkan. Konteks kepuasan pelanggan
dalam pendidikan adalah terciptanya kualitas atau mutu sekolah dalam
menyelenggarankan pendidikan di sekolah yang melebihi harapan atau keinginan pelanggan
atau konsumen atas pelayanan pendidikan yang disajikan.
b)
Respek
terhadap setiap orang
Dalam
organisasi sekolah, SDM menjadi sesuatu sumber daya yang sangat bernilai dan
berharga, dan merupakan asset organisasi. Sebagai asset organisasi, pengetahuan
dan ketrampilan individu dan kelompok harus dibangun dan dikelola dengan
memperlakukan sumber daya tersebut dengan baik, diberikan kesempatan untuk
berprestasi, keleluasaan berkarir, berinovasi, dan diberi kesempatan berpartisipasi dalam pengembilan keputusan.
Seorang menejer peduli terhadap keberadaan individu dan kelompok dalam
organisasi, dan harus memberikan pemahaman
“sense of ownership” kepada individu
dan kelompok sehingga memreka mampu berinovasi, bersaing dan mencapai
tujuannya.
c)
Manajemen
berdasarkan fakta
Bermakna
bahwa setiap keputusan yang diambil atau dibuat harus berdasarkan fakta, bukan
perasaan (feeling) atau ingat semata.
Untuk membuat suatu keputusan harus didasarkan pada 2 hal yaitu (1)
prioritatisasi, dan (2) variasi atau variabilitas.
d)
Perbaikan
Terus Menerus
Agar
mencapai sukses, sebuah sekolah perlu melakukan proses sistematis dalam
melakukan perbaikan berkesinambungan, dengan konsep PDCA = planning, directing,
controlling, and accounting (perencanaan, melaksanakan rencana, memeriksa hasil
pelaksanaan rencana, dan melakukan tindakan korektif terhadap hasil yang
diperoleh.
Untuk mendapatkan
kualitas bermutu tinggi, sebuah organisasi harus melakukan proses bermutu dari
sebuah sistem dalam pencapaian tujuan. Proses bermutu kemudian harus dilakukan
dengan sebuah pengambilan keputusan bermutu dengan proses pengambilan keputusan
yang partisipatif.
MBS
dan Kenyataan yang Terjadi
Pada saat ini, konsep
MBS memang sudah menjadi kewajiban sekolah sebagai wujud dari desentralisasi
pendidikan untuk dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan pada unit atau
satuan pendidikan. Namun kenyataannya, MBS sebagai model pengelolaan yang
memberikan otonomi kepada sekolah, memberikan fleksibiltas kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku sangat sulit untuk diimplentasikan di sekolah.
Sebagai otonomi sekolah MBS sebenarnya adalah pemberian kewenangan dan
tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah untuk mengambil
keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, tuntutan sekolah serta
masyarakat atau pemangku kepentingan yang ada. Semua itu hanya sebuah harapan
dan impian.
MBS sebagai sebuah
model sulit dilaksanakan karena manajemen sektor publik di sekolah masih
dipengaruhi oleh pola sentralistik dan pengaruh
politisasi kepentingan “penguasa” atau pemerintah daerah yang sangat
kuat. MBS masih menjadi jargon pendidikan ditingkat lokal yang berseberangan
dengan tujuan pendidikan nasional. Sistem Penganggaran dan anggaran pendidikan
di kabupaten/kota masih menjadi sebuah tawar menawar politik yang menjadikan
sekolah sebagai sebuah institusi yang diberikan kekeluasaan setengah hati.
Konsep manajemen hanya sebatas pelaksanaan ranah “organizing”, dalam artian
sebagai konsep manajemen tidak dapat dilaksanakan karena tidak sesuai dengan
konsep organisasi yang sebenarnya yaitu “planning,
organizing, leading, and controlling”, serta tidak mencerminkan sebuah
sistem kerja yang sistematis. Sistem tidak dijadikan sebagai bahan berpikir
melaksanakan proses untuk mendapatkan input
dan outcome, karena pendidikan yang
dibangun tidak mencerminkan sistem (the
man behind the system).
Dari sisi kepemimpinan
dalam sebuah manajemen, kepala sekolah tidak bertindak sebagai seorang pemimpin
yang memiliki konsep leadership,
karena kepala sekolah merupakan perpanjangan tangan birokrat yang diikat dengan
aturan normatif politis yang harus “patuh” pada penguasa lokal, karena konsep
pemberian kewenangan luas yang
ditawarkan hanya sebatas “angin lalu”, karena kepala sekolah bekerja terikat
dengan kaidah-kaidah normatif birokrasi yang tidak dapat secara leluasa
mengembangkan kompetensi organisasinya dalam membangun organisasi yang kreatif,
inovatif, dan berdaya saing tinggi, apalagi efektif dan efisien dalam mencapai
tujuan organisasi sesuai dengan konsep otonomi sekolah. MBS hanya sebuah nama
dan istilah yang tidak menampakan eksistensi dan hasil dalam membangun dan
mengembangkan mutu pendidikan.
Bentuk-bentuk lain dari
tidak berjalannya konsep MBS sebagai model manajemen pendidikan di sekolah
sebagai otonomi pendidikan dicerminkan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Sekolah
sebagai institusi pendidikan (SKPD dalam istilah pemerintahan untuk sekolah
negeri) tidak diberi keleluasaan dan kewenangan yang luas dalam membangun
organisasi, karena sekolah harus mengikuti keinginan pemerintah daerah (dinas
pendidikan) yang kadang-kadang tidak mencerminkan pelaksana dari tujuan
pendidikan nasional;
2) Sekolah
hanya pelaksana dilapangan atas kebijakan dinas pendidikan dalam menjalankan
Renstra pemerintah daerah, dan renstra dinas pendidikan yang kadang-kadang
tidak mencerminkan makna MBS sebagai sebuah model manajemen pendidikan di
sekolah;
3) Sekolah
sebagai organisasi sektor publik, sulit mendapatkan keleluasaan membangun
organisasi, khususnya dalam sektor organisasi “mencari dana, dan menggunakan
dana”, karena pendidikan di daerah kental dengan politisasi penguasa lokal yang
lebih mementingkan unsur politik dari pada membangun pendidikan. Konsep
pendekatan organisasi sektor publik hanya sebatas mengelola keuangan dengan
baik dan benar saja;
4) Sistem
menempatkan pemimpin dalam organisasi masih diliputi dengan kepentingan politik,
bukan karena kompetensi, profesionalisme dan kapabelitas kepemimpinan, sehingga
kepala sekolah adalah perpanjangan tangan pemerintah daerah, dan bukan sebagai
seorang menejer organisasi yang profesional;
5) Konsep
kreatif, inovatif, berdaya saing hanya sebatas visi dan misi organisasi,
sementara pencapaian visi dan misi sekolah tidak dapat dilaksanakan karena
kepala sekolah tidak akan mungkin dan sangat sulit untuk menerapkan konsep
partisipatif, bottom-up, transparan,
akuntabilitas dalam membangun dan mengembangkan sekolah, selain karena kepala
sekolah didapat dengan tidak didapat melalui seleksi dan rekrutmen yang
objektif, selektif, transparan, dan kompetitif, serta memiliki kompetensi dan
kapabelitas yang tinggi tentang organisasi, khususnya sekolah karena tidak
memahami dan mengetahui pengelolaan organisasi dengan konsep manajemen yang
baik dan benar. Kepala sekolah adalah orang yang dekat dengan penguasa.
6) Pengelolaan
keuangan negara di sekolah, tidak berbasis perencanaan penganggaran dan
anggaran, pengelolaan keuangan sekolah masih mis manajemen karena tidak
dikelola oleh orang yang paham dan mengerti pengelolaan keuangan negara yang
benar, akibatnya banyak terjadi kebocoran dan pemborosan;
7) Pengelolaan
keuangan sekolah, tidak didasarkan pada pengelolaan keuangan negara berdasarkan
konsep organisasi sektor publik yang tidak dilakukan secara terbuka,
transparan, dan akutabilitas berdasarkan prinsif-prinsif pengelolaan keuangan
negara sektor publik yang benar. Keuangan sekolah adalah keuangan yang hanya
diketahui oleh kepala sekolah, dan sekelompok orang dekat dengan kepala
sekolah. Konsep transparansi dan akuntabiltas masih merupakan “barang tabu”
untuk diketahui oleh orang banyak. Keterbukaan, transparan dan akuntabilitas
hanya mengganggu sumber-sumber dana pribadi atau sekolah terganggu oleh orang
lain.
8) Sekolah
tidak dan sulit untuk mengajak pihak luar untuk berpartisipasi dalam membangun
sekolah (warga sekolah dan stakeholder), dan pihak luarpun engan dan sulit
untuk diajak mengembangkan sekolah, karena sekolah pada ujungnya hanya akan
bertindak dan bergerak dengan sendirinya baik dalam hal perencanan,
pengembangan, dan pembuatan keputusan. Sikap engan masyarakat dan stakeholder
dalam perencanaan dan penganggaran pendidikan terjadi jikalau sekolah membutuhkan
dana besar untuk mengembangkan sekolah, sementara jika sudah didapat,
pertisipasi masyarakat yang terlibat biasanya diabaikan oleh sekolah.
9) Sekolah
sebagai institusi yang bertugas melaksanakan pendidikan, tidak dilaksanakan
sebagai tempat “proses pendidikan” karena hal-hal internal yang tidak dapat
berjalan maksimal karena adanya politisasi pendidikan di sekolah.
10) Kultur
sekolah yang kaku, yang tidak memberikan kesempatan kepada warga sekolah untuk
secara partisipatif, adaptif, inovatif, demokrasi dalam membangun mutu,
efektivitas dan efisiensi serta pelayanan kepada warga sekolah dan masyarakat
serta stakeholder
Pertanyaan besar
selanjutnya adalah, apakah sistem pendidikan Indonesia akan mendekati sistem
pendidikan yang benar dan menyeluruh ? Menjawabnya agak sulit, kita harus mulai
dengan membangun sistem yang baik dan benar yang disertai dengan pendekatan
filosofi dan sistem politik yang benar. Konsep berpikir masyarakat dan
masyarakat pendidikan harus dibangun kembali dengan konsep pendidikan berbasis
sistem sesuai dengan kaidah-kaidah organisasi dan profesionalisme.
Kebebasan dan
keleluasaan bergerak dalam organisasi harus dibangun oleh orang-orang “baik”
yang mengerti sistem, aturan, norma, etika, nilai, budi pekerti, serta
profesional yang berbasis kompetensi dan kapabelitas dalam organisasi.
Solusi
dan Revitalisasi MBS yang Ideal
MBS sebagai model
manajemen pendidikan di sekolah saat ini sudah saatnya untuk diimpelementasikan
dengan sebenarnya, dan bukan hanya dijadikan jargon dan kepentingan politik
yang tak bertujuan. Untuk mencapai makna pelaksanaan dari MBS yang sebenarnya,
maka pelaksanaan MBS sudah harus direvitalisasi dari segi pemaknaan dan
implementasinya. MBS untuk perlu diadakan revitalisasi pemaknaan antara lain
sebagai berikut :
a) Menuntut
diadakannya restrukturisasi atau reorganisasi sekolah dan intansi-instansi
terkait lainnya, serta dituntut untuk perbaikan tata kelola agar menjadi lebih
organik, sehingga mampu memberdayakan warga sekolah dalam rangka menciptakan
nilai tambah yang berkelanjutan (sustainable value-creation/SVC);
b) Menuntut
dilakukannya perubahan figure atau
refigurisasi, atau menata kembali figur-figur warga sekolah dalam hal perubahan
daya pikir, daya qalbu, dan daya fisik, serta daya gerak sehingga menjadi lebih
berdaya guna menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan (sustainable
value-creation/SVC);
c) Menuntut
adanya perubahan kultur sekolah (rekulturisasi), yaitu dengan melakukan
rekonfigurasi nilai-nilai yang dianut sekolah sebagai sebuah keinginan dan
kesepakatan bersama dalam penanaman sikaf dan prilaku bagi semua warga sekolah.
Revitalisasi kultur sekolah ini berupa memberdayakan nilai-nilai demokrasi,
ekspektasi yang tinggi, kesetiakawanan, kedisiplinan, keadilan, kejujuran,
kerjasama kelompok, membangun iklim kemerdekaan berpikir dan bersikap,
entrepreneurship, berdedikasi, keberanian mengambil resiko, respek terhadap
orang lain, dan menghargai adanya perbedaan.
(Slamet,
2011 : Handout Perkuliahan ke-04 Kelas Kemdiknas 2A di MM-UGM)
Dari gambaran singkat
keinginan dari paradigma baru berpikir MBS itu, diharapkan terjadinya
keterbukaan berpikir bagi semua warga sekolah untuk melakukan pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan ke arah yang lebih baik, sehingga kesepakatan
bersama yang dibuat untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah berjalan
optimal dan sesuai harapan. Sikaf ownership
dan bertanggungjawab atas sesuatu yang dilakukan akan muncul dan terjadi jika
seseorang sebagai bagian dari organisasi merasa dilibatkan dalam perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, serta mengambil keputusan dari kegiatan yang
dilaksanakan. Efektif dan efisien serta sikap bertanggung jawb akan terjadi
jika semua orang merasa menjadi bagian dari sebuah pekerjaan.
Melihat kondisi
perjalanan MBS di era desentralisasi pendidikan saat ini yang belum menyentuh
makna hakiki dan arah tujuan yang sebenarnya, maka untuk mencapai MBS sebagai
bentuk otonomi pendidikan dan otonomi sekolah dalam pendidikan maka diperlukan
revitalisasi dan restrukturisasi pengelolaan sebagai implementasi MBS itu
sendiri dengan upaya sebagai berikut :
1. Pemerintah
daerah harus mulai mengkaji dan melakukan penataan ulang kebijakan
desentralisasi pendidikan yang berbasis data, informasi, dan pengetahuan yang
dituangkan dalam kebijakan yang terarah dan berkelanjutan, khususnya makna
otonomi sekolah sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di satuan pendidikan,
otonomi sekolah jangan dibuat dan dibangun sebagai sesuatu yang “abu-abu”, akan
tetapi jadikan otonomi sekolah sebagai suatu pemberian wewenang dan
tanggungjawab yang mencerminkan arah pembangunan pendidikan di daerah yang
dapat diterjemahkan sebagai makna yang tacit
maupun explicit; serta tidak
bertentangan dengan aturan, ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara nasional;
2. Pemerintah
daerah harus mulai membangun komitmen yang kuat dan hakiki dalam membangun
pendidikan di daerah sebagai bentuk desentralisasi pendidikan sesuai dengan
yang digariskan oleh pemerintah pusat dengan membangun struktur organisasi yang
hakiki dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang jelas kepada semua
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan dimulai dari
perencanaan, pengelolaan, pengendalian, serta evaluasi sehingga semua orang yang
terlibat dan dilibatkan akan bertanggung jawab dalam eksekusi proses dan
pengambilan keputusan penyelenggaraan pendidikandi daerah;
3. Pemerintah
daerah bersama instansi dan institusi terkait dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu paham atas konsep MBS yang
dibangun oleh pemerintah pusat (walaupun kadang-kadang sulit dilakukan karena
biasanya kepentingan politik menuntut sesuatu yang lebih besar), tentang apa
yang harus dilakukan oleh daerah dan apa yang harus dilakukan oleh sekolah,
sehingga dalam pengelola dan penyelenggara pendidikan tidak melakukan sikaf
saling sandera kepentingan yang biasa terjadi dalam prilaku politik lokal, yang
berujung kepada pendidikan yang tergiring oleh kepentingan politik sesaat; MBS
harus dibangun atas saling percaya dan bersepakat tentang kemajuan dan
peningkatan mutu pendidikan secara lokal maupun nasional;
4. Makna
otonomi sekolah sebagai bentuk otonomi pendidikan diberikan ke sekolah,
merupakan suatu kewenangan dan tanggungjawab, dan bukan merupakan sesuatu tabu.
Pemerintah daerah harus membangun sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang
mampu membuat sekolah memunculkan sesuatu yang bernilai competitive advanted dan competitive
camparative, yang membuat sekolah
akan berupaya melakukan kreativitas, berinovasi dan bersaing secara positif ;
5. Sekolah
sebagai bentuk otonomi pendidikan harus berani, progresif dan ulet, berinsiatif
dan harus bertanggung atas pemberian kewenangan otonomi pendidikan yang
diberikan. Pemberian keweangan itu harus ditangkap dengan pelaksanaan MBS yang
harus dilakukan secara partisipatif, demokratis, inisiatif, adaptif, inovatif,
berdaya saing, fleksibel, transparan, akuntabel.
6. Pendidikan
harus dibangun dengan konsep investasi atau belanja modal, untuk membangun masa
depan individu, kelompok, daerah dan nasional dengan menggunakan filosofi,
sistem, pendekatan, dan perencanan pembangunan pendidikan yang berbasis potensi
dan sumberdaya lokal dengan keunggulan lokal;
7. Otonomi
sekolah sebagai bentuk otonomi pendidikan di tingkat satuan pendidikan, sudah
harus dibangun atas kemandirian,
kemitraan dan kerjasama, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan di sekolah yang dipimpin oleh
seorang menejer pendidikan yang memiliki jiwa kepemimpinan pendidikan yang
beretika, berakhlak mulia, berjiwa membangun yang didapat melalui serangkian
seleksi dan rekrutmen yang mencerminkan nilai-nilai dan semangat kompetisi yang
terbuka, objektif, independent dan transparan (dan bukan atas dasar kepentingan
politik sesaat);
8. Sekolah,
kepala sekolah dan warga sekolah harus mulai membangun keterbukaan, transparan,
serta akuntabel dalam pengelolaan sumber daya sekolah (orang, barang dan
financial, serta asset intangible
lainnya) sebagai wujud dari proses audit manajerial dan audit kinerja pada
organisasi dalam membangun dan menciptkan mutu pendidikan yang berbasis dan mencerminkan
konsep manajemen kinerja dalam organisasi sekolah, sehingga sekolah mampu
menciptakan dan memberikan kepuasan (zero
complain) kepada pelanggan atau pengguna jasa pendidikan;
9. Sekolah
sudah harus mulai memberikan keleluasaan berpikir kreatif, inovatif kepada semua warga sekolah untuk membangun
kualitas sekolah sehingga mencerminkan sekolah sebuah organisasi (pendidikan) yang
efisien, efektif, kreatif, inovatif dan berdaya saing tinggi serta memiliki keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif secara lokal dan nasional;
10. Sekolah
harus dibangun dengan konsep manajemen pendidikan modern dengan kepemimpinan pendidikan modern sebagai bentuk
perbaikan tata kelola sekolah yang diukur dengan dimensi partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, penegakkan hukum, demokrasi,
kepekaan, jaminan kepastian mutu layanan, keadilan, wawasan ke depan,
keefektifan, dan keefisiensian, serta munculnya kultur sekolah yang kolektif,
kontinyu, konfergen dan konvergensi untuk memajukan sekolah. Untuk menciptakan
dan mencapai itu semua, maka sekolah harus dikelola dengan manajemen yang baikoleh
seorang manajer pendidikan profesional dengan
kepemimpinan profesional dan tranformasional serta memiliki kompetensi dan
kapabelitas serta beretika tinggi.
11. Sekolah
harus membangun mutu sehingga akan dipercaya oleh masyarakat dan stakeholder.
Upaya membangun mutu harus dilakukan secara bersama dengan konsep partisipatif
dan demokratis dengan melibatkan warga sekolah dan masyarakat. Melibatkan unsur
sekolah dilakukan untuk membangun sense
of ownership dikalangan pelaku pendidikan di sekolah.
Konsep
yang baik belum tentu dapat direalisasikan dengan benar tanpa komitmen dan
pendekatan sistem yang baik dan benar. Sistem harus dibangun berdasarkan “The man behind the system”, karena
manusia merupakan faktor kunci yang menentukan kekuatan pendidikan.
Penutup
Pendidikan di Indonesia
sudah harus mulai dibangun dengan pendidikan yang baik dan benar, dengan
melakukan dan menggunakan pendekatan pendidikan sesuai sistem yang baik dan
benar. Membangun pendidikan adalah investasi masa depan bagi individu,
masyarakat dan negara.
Membangun pendidikan di
Indonesia harus di mulai dari unit terkecil yaitu sekolah melalui konsep model
manajemen berbasis sekolah (MBS) yang muncul dari semangat reformasi dalam
konsep otonomi daerah. Konsep otonomi daerah atau otonomi pemerintahan
berdampak kepada desentralisasi (otonomi) pendidikan di daerah baik provinsi,
dan lebih khusus di kabupaten/kota. Dan sebagai wujud dari desentralisasi
pendidikan itu kemudian berdampak kepada pembangunan pendidikan pada sektor
yang paling bawah, yaitu dengan pemberian otonomi sekolah.
Konsep otonomi sekolah
merupakan suatu pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada
sekolah yang kemudian di konsep dengan bungkus MBS atau Manajemen Berbasis
Sekolah. Konsep MBS ini harus menganut prinsif Manajemen Mutu Terpadu (MMT)
sehingga mereka mampu inovatif dan bersaing dengan yang lainnya. Sebagai
implementasi pencapaian mutu pendidikan, sekolah adalah yang paling tahu
tentang kebutuhan dan potensi yang dimilikinya, dengan memahami konsep itu
diharapkan sekolah mampu membangun dan mengembangkan sekolah berbasis
keunggulan lokal sehingga mampu secara efisien, kreatif, inovatif, partipatif,
demokratif dan berdaya saing tinggi dengan keunggulan kompetitif yang berproses
secara terbuka, transparan dan akuntabel.
Untuk mencapai itu,
maka pendidikan yang dilakukan oleh sekolah harus dibangun dengan konsep
manajemen pendidikan yang baik dan benar, yang dikelola oleh orang yang
“benar”, yang paham konsep manajemen, kompeten, kapabel, dan profesional,
beretika, berbudi pekerti luhur, serta merupakan seorang leader dan manejer
yang baik. Sehingga sekolah akan mampu membangun mutu, kultur dan layanan
pendidikan yang baik sehingga tujuan pendidikan mampu dicapai secara optimal.
Daftar Pustaka
Arcaro, Jerome S
(1995). Quality in Education (an implementation).
Florida : St. Lucie Press.
Amtu, Onisimus
(2011). Manajemen Pendidikan di Era
Otonomi Daerah (Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : Alfabeta
Arikunto, S.,
dan Lia, Yuliana (2008). Manajemen
Pendidikan. Yogyakarta : Kerjasama UNY-Aditya Media
Asmani, J.M
(2009). Manajemen Pengelolaan dan
Kepemimpinan Pendidikan Profesional.Yogyakarta : DIVA Press.
Bush, T (2003). Theories of Education Leadership and
Management. NY : SAGE Publication, Third Edition.
Kemdiknas
(2011). Manajemen Berbasis Sekolah di SMP
pada Era Otonomi Daerah. Jakarta : Direktorat Pembinaan SMP
Mulyasa, E
(2007). Menjadi Kepala Sekolah
Professional. Bandung : Rosda Karya
Sallis, Edward
(2011). Total Quality Management in
Education (Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan). Jogjakarta : IRCiSoD.
Slamet, PH
(2000). Manajemen Berbasis Sekolah
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 027, Tahun ke-6). Jakarta : Depdikbud
Umiarso, dan
Gojali, Imam (2011). Manajemen Mutu
Sekolah (Di Era Otonomi Pendidikan). Jogjakarta : IRCiSoD
Usman, Husaini
(2011). Manajemen (Teori, Praktik, dan
Riset Pendidikan). Jakarta : Bumi Aksara
Komentar
Posting Komentar