DESENTRALISASI PENDIDIKAN : KETIMPANGAN DAN UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI DAERAH

DESENTRALISASI PENDIDIKAN : KETIMPANGAN  DAN UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI DAERAH
(SEBAGAI SEBUAH PEMIKIRAN)
Oleh Garmawandi *)

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dikenal sebagai Otonomi Daerah, maka otonomi (penyelenggaran) pendidikan pun diserahkan kepada daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota) dalam bentuk desentralisasi pendidikan.
Kaitan antara desentralisasi pemerintahan dengan desentralisasi pendidikan, menurut pandangan Dyer dan Rose (2005) dalam Kemdiknas (2011) menyebutkan bahwa “desentralisasi pendidikan dinyatakan terkait dengan pergantian lokasi yang menyelenggarakan pemerintahan, pada umumnya dipahami sebagai pelibatan redistribusi kekuasaan dan kewenangan politik, sumber serta tanggungjawab dan fungsi-fungsi administratif”. Konsekuensi itu kemudian menyebabkan otonomi (penyelenggaraan) pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari desentralisasi pemerintahan.
Untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan berdasarkan otonomi pendidikan, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian dijadikan landasan hukum desentralisasi (penyelenggaran) pendidikan dengan ketentuan kewenangan sebagai berikut :
1)      Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan;
2)      Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan evaluasinya;
3)      Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Menurut Hanson’s (1998) essensi otonomi daerah adalah “transfer kewenangan, tanggung jawab dan tugas pengambilan keputusan dari organisasi yang lebih tinggi kepada organisasi di bawahnya atau di antara organisasi itu sendiri”.  Sedangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, menyebutkan bahwa “otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari ke dua definisi itu, menggambarkan bahwa inti dari desentralisasi adalah mentransfer urusan kepada organisasi yang di bawahnya, yaitu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Akibatnya adalah transfer pemerintahan harus diikuti dengan tranfer kewenangan dan kewajiban mengelola pendidikan yang dituangkan dalam desentralisasi pendidikan.
Dalam sistem desentralisasi pendidikan, kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah berada dalam tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Desentralisasi pendidikan, kemudian menjadikan menjadikan sektor pendidikan diserahkan dan dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Dengan demikian menurut Onisimus (2011),   desentralisasi pendidikan dapat dipahami sebagai pemberian otoritas, kewenangan dan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan dasar maupun menengah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah semua daerah siap dan sanggup  menyelenggarakan dan melakukan pengelolaan pendidikan di daerah secara utuh dan menyeluruh, khususnya untuk daerah-daerah pemekaran yang miskin PAD dan potensi daerahnya. Hal itu perlu dipertanyakan karena pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota mutlak harus menyediakan anggaran pendidikan yang memadai guna menjamin ketersediaan pendidikan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat di daerah.
Keyakinan kita untuk saat ini, tidak semua pemerintahan daerah siap secara utuh dan menyeluruh  menyelenggarakan desentralisasi pendidikan di daerahnya, hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya gedung-gedung sekolah yang tidak layak pakai dan bahkan ada yang “ambruk”,  masih tingginya angka putus sekolah, dan bahkan masih ada  anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah, bahkan pada kantong-kantong daerah tertentu yang sulit dijangkau oleh tranportasi dan komunikasi masih banyak ditemukan adanya anggota masyarakat yang tidak sempat dan bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan baik formal maupun informal. Hal ini mengindikasikaan bahwa akses pendidikan, penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan sebagai bentuk proses layanan pendidikan belum memadai dan belum sesuai tujuan dengan otonomi daerah secara utuh.  
Akan tetapi hal itu tidak bisa ditolak, karena pelaksanaan otonomi daerah mengharuskan desentralisasi pendidikan menjadi satu kesatuan utuh dalam otonomi pemerintahan.
Kesiapan daerah dalam menerima kewenangan desentralisasi pendidikan menjadi keraguan bagi keyakinan kita, dapatkah masyarakat memperoleh dan menikmati pendidikan yang layak ? Dapatkan mutu pendidikan di daerah berjalan sinergis dengan keinginan pemerintah dalam menyelenggarakan dan menyediakan pelayanan pendidikan bermutu di masyarakat sejalan dengan amanat UUD 1945 ? Ini harus jadi kajian kita secara seksama.  
Permasalahan sistemik ini muncul kita semua kewenangan pendidikan diserahkan pengelolaannya kepada daerah, seperti penganggaran pendidikan, penyelenggaraan, pengelolaan dan evaluasi pendidikan menjadi bagian dari kewenangan desentralisasi pendidikan. Namun kenyataannya, tidak semua daerah sanggup dan mampu menyiapkan anggaran pendidikan dan mengalokasikan infrastruktur pendidikan sesuai dengan yang diinginkan.  Prioritas pembangunan di daerah, belum sepenuhnya menyentuh akar masalah pendidikan yaitu penyediaan akses layanan pendidikan yang memadai serta berupaya melakukan peningkatan mutu pendidikan. Jawaban politis yang muncul dari kaum birokrat dan politikus kita adalah setiap daerah memiliki permasalahan yang sama, yaitu masalah ketersediaan anggaran keuangan daerah yang minim untuk dianggarkan dalam porsi yang pas di bidang pendidikan, hal itu terjadi dikarenakan minimnya potensi dan sumber daya alam yang dimiliki dan yang akan dikelola yang berujung kepada rendahnya pendapat asli daerah (PAD). Kondisi ini kemudian dijadikan alasan klise untuk menganaktirikan pembangunan pendidikan yang berujung pada tidak adanya sinkronisasi antara kebijakan pendidikan pusat dengan daerah.  Alasan-alasan krusial itu menjadikan makna desentralisasi pendidikan ke daerah sebagai sesuatu yang memprihatinkan, sementara sudah sangat jelas pembangunan pendidikan di Indonesia harus menjadi prioritas utama agar bisa menjadikan manusia yang berilmu, cerdas, beradab dan mampu berkompetisi secara lokal, regional dan internasional.
Akhirnya kita bertanya, apakah kita akan dapat membangun pendidikan yang bermutu dengan seabrek dan bermacam-macam persoalan pendidikan di daerah ? Jawabannya sederhana, kita sudah harus mulai membangun komitmen untuk bangsa ini, bahwa pendidikan adalah pondasi dan pilar untuk membangun bangsa Indonesia ke depan. Komitmen harus berjalan sinergis antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Komitmen itu harus memiliki kesepemahaman, seide, sejalan dan ke satu arah tujuan serta kemudian melakukan action yang sama. Goals  yang sama dengan komitmen yang kuat, akan membuat orang dan bangsa ini mau berbuat untuk bangsanya sendiri. Komitmen harus dibangun dengan kerangka politik yang cerdas dan birokrasi yang sehat, yang memandang bahwa satu permasalahan harus dicarikan jalan keluar yang positif dengan berpikir yang positif,  sehingga permasalahan pendidikan di Indonesia tidak menjadi permasalahan yang berlarut dan berkepanjangan.
Konsekuensi tidak sinergisnya pemaknaan desentralisasi pendidikan dalam desentralisasi pemerintahan membuat pendidikan Indonesia “kocar-kacir” dalam membangun mutu. Tujuannya sama, tapi cara mencapai tujuan itu diterjemahkan dan dilaksanakan berbeda-beda. Sikaf apatis dan mengabaikan komitmen untuk maju, menjadi salah satu penyebab ketimpangan pendidikan di Indonesia antar setiap daerah. Hal itu semakin kental, ketika desentralisasi pendidikan dikotomi oleh politisasi pendidikan yang menyebabkan arah pendidikan di daerah semakin tidak menentu.
Kapan kita mau maju, jawabannya ada ditangan kaum birokrat dan wakil rakyat yang memegang kekuasaan politik. Adakah komitmen untuk membangun pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya, mari kita tanyakan pada mereka.
           
Pendidikan : Suatu Proses dan Investasi SDM
Pendidikan bukan suatu produk yang langsung jadi, pendidikan adalah suatu proses dan layanan. Proses dan layanan akan berjalan baik bila semuanya sepakat, bahwa pendidikan harus dibangun sejalan antara pembangunan fisik dan ketersediaan tenaga pendidikan yang bermutu.  Ketersediaan infra strukutur yang memadai akan mendukung proses layanan pendidikan yang lakukan oleh tenaga pendidik di lapangan.
Pendidikan adalah membangun kualitas manusia masa depan. Membangun masa adalah sebuah investasi.   Investasi adalah belanja modal. Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,  disebutkan bahwa yang dimaksud dengan investasi atau belanja modal adalah “pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian atau pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan”. Sedangkan menurut Halim (2011) yang dimaksud dengan investasi adalah “setiap pengadaan atau pembelian asset yang bermanfaat lebih dari 12 bulan dan kemudian asset itu digunakan dalam kegitaan pemerintahan yang bermanfaat baik secara ekonomis, sosial dan atau bermanfaat lainnya yang dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat”. Jadi dari kedua definisi jelas bahwa sektor pendidikan yang dikelola pemerintah merupakan sebuah   investasi. Investasi sektor publik  tidak akan menghasilkan profite dalam hitungan hari dan bulan, karena investasi sektor publik adalah penanaman modal untuk pemenuhan sektor pelayanan masyarakat dalam jangka panjang, menghasilkan manfaat ekonomis, sosial dan sebagainya.
Pendidikan adalah bentuk investasi SDM yang dibangun sebagai modal jangka panjang untuk membangun pelayanan di masa depan untuk meningkatkan pelayanan yang bermanfaat secara ekonomis dan sosial.  Oleh karena itu, menurut Halim (2011), investasi sektor publik tidak dihitung berdasarkan cost benefit tetapi dihitung berdasarkan  ekonomis, sosial dan bermanfaat dalam kegiatan pemerintah melayani masyarakat.
Sebagai investasi, pendidikan harus dibangun melalui sebuah proses yang bermutu. Proses bermutu harus dilakukan oleh layanan yang bermutu. Agar terciptanya mutu layanan, maka sarana dan prasarana pendukung layanan harus tersedia dan memenuhi standar ketentuan yang memadai. Proses pendidikan bermutu dilakukan melalui sebuah proses layanan pada unit terkecil yang disebut dengan kelas; karena didalamnya akan dibangun sebuah interaksi melalui sebuah proses bermutu sehingga di dapat output yang bermutu.
Ketersediaan infra struktur pendidikan akan membangun bentuk pendidikan di daerah berjalan searah dengan tujuan pendidikan nasional. Pencapai mutu pendidikan di daerah terjadi apabila pendidikan memenuhi angka ketersediaan dan “kenyamanan” dalam berproses. Ketersediaan dan kenyamanan dalam berproses dan melayani akan terjadi jika semuanya tersedia  dan disediakan. Kenyamanan adalah suatu kondisi abstrak yang di dalamnya terjamin  keamanan, kondusivitas, terdukung, tersedia, terlindungi serta variance lain yang membuat seseorang betah dan tenang dalam berproses. Artinya bahwa upaya meningkatkan mutu pelayanan dan mutu pendidikan harus dimulai dari yang terkecil baru ke yang terbesar, yang terpenting baru ke yang umum.
Membangun manusia adalah membangun kedewasaan, karakter, keilmuan, kemampuan, kompetensi, manajerial, sikaf profesionalisme dan memiliki jiwa sosial yang secara abstrak hanya terbentuk jika pendidikannya bermutu dan bermartabat. Akhirnya kita berpikir bahwa membangun pendidikan harus dengan sentuhan hati dan komitmen kuat, bahwa bila kita membangun pendidikan dengan tujuan meningkatkan SDM, maka ke depan kita akan berproses menjadi yang lebih maju dari orang (daerah) lain dan bangsa lain.

Ketimpangan : Bentuk Nyata dari Desentralisasi Pendidikan
Selanjutnya, pemahaman desentralisasi pemerintahan dan desentralisasi pendidikan menyebabkan pembangunan pendidikan di Indonesia tidak searah dan setujuan dalam proses pencapaiannya. Garis-garis kebijakan pendidikan nasional memang sudah jelas diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003, namun tidak semua daerah mampu merealisasikan angka minimal 20% APBD nya sejalan dengan kemauan dari isi undang-undang tersebut. Pemerintah daerah selalu berpolitik, alasan rendahnya potensi SDA daerah, rendahnya PAD, serta rendahnya potensi-potensi lain di daerah menyebabkan anggaran pendidikan tidak bisa dipenuhi secara kuantitatif dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).  Bahkan untuk daerah-daerah yang telah menganggarkan kegiatan pendidikannya minimal 20% dari APBD, juga masih menimbulkan permasalahan baru dalam kebermanfaatan anggaran yang tidak menyentuh proses layanan pendidikan.
Menurut Soedijarto, pengamat pendidikan dari UNJ dalam Harian Seputar Indonesia (edisi Jum’at, 2 Desember 2011) mengatakan bahwa “pemerintah selama ini tidak pernah mengeluarkan anggaran pendidikan dengan kebutuhan yang jelas, pemerintah hanya berpikir linear. Anggaran hanya ditambahi tanpa dihitung lagi kebutuhannya berapa”, dan menurutnya lagi bahwa seharusnya pemerintah untuk  2012 ini harus mengeluarkan anggaran pendidikan lebih dari Rp 286,6 triliun untuk semua sektor pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Ironis memang, pendidikan dianaktirikan dan dianggap menjadi sesuatu yang kurang penting bagi daerah. Hal itu terjadi, karena anggaran pendidikan yang minimal 20% dalam APBD dialokasikan untuk hal-hal yang tidak menyentuh proses dan penyelenggaran layanan pendidikan pada satuan pendidikan (cost unit), anggaran lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan struktural, infra struktur dan finansial kedinasan seperti pengadaan kendaraan dinas dan perjalanan dinas pejabat-pejabat struktural di pendidikan, pembangunan dan rehabilitasi bangunan gedung kantor dinas dan infra struktur lainnya, insentif dan honor kegiatan di ruang lingkup dinas, serta hal-hal di kantor dinas pendidikan atau kantor yang mengelola pendidikan di daerah yang secara sistemik lebih banyak menggunakan APBD untuk anggaran pendidikan yang secara prinsif tidak memiliki sentuhan pada proses, layanan dan peningkatan mutu pendidikan. Akibatnya cost unit sebagai “kue pendidikan” pun yang diterima untuk proses, layanan  dan pengelolaan pendidikan pun semakin kecil, sedikit dan tidak meng”enak”kan.  Pertanyaannya adalah, bagaimana mau menyelenggarakan proses dengan bermutu ? Jawabannya adalah “tanyakan pada rumput yang bergoyang”.
Mutu pendidikan akan tercapai apabila ketersediaan dana dan anggaran pendidikan memenuhi standar kebutuhan cost unit pendidikan berbasis kelas. Kelas sebagai tempat interaksi pendidikan harus memenuhi standar-standar kebutuhan proses pembelajaran yang optimal. Proses pembelajaran di kelas bukan berarti terpenuhinya siswa belajar di kelas dengan meja kursi yang baik, atap ruang kelas yang tidak bocor ataupun papan tulis digantikan dengan whiteboard. Akan tetapi telah tercermin dari adanya jaminan ketersediaan sarana penunjang proses pembelajaran di kelas; serta faktor-faktor lain yang abstrak yakni kondisi yang nyaman, tenang, suasana yang kondusif, guru yang kompeten, sarana-prasarana kelas yang tersedia, ruang kelas yang bersih dan teratur, buku pelajaran dan sumber-sumber buku  pembelajaran yang relevan, aspek kesehatan dikelas terpenuhi, penerangan yang cukup serta variance lain yang terpenuhi sehingga membuat suatu proses pembelajaran akan berjalan menyenangkan. Pertanyaannya, apakah anggaran pendidikan di daerah  sudah menyediakan itu ? Jawabannya sulit dan tidak akan terpenuhi.
Anggaran pendidikan di daerah belum menyentuh cost unit sehingga menimbulkan ketimpangan-ketimpangan pendidikan antar daerah. Anggaran pendidikan di setiap daerah masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan rutin dan infrastruktur sekolah dan kebutuhan lain yang sulit diterima hubungannya dengan proses pendidikan. Jadi sederhananya, kita akan memerlukan waktu yang lama untuk membangun mutu pendidikan berbasis desentralisasi pendidikan jikalau paradigma pemikiran pemerintah daerah belum memiliki visi yang jelas akan pencapaian mutu pendidikan sebagai suatu proses penting dalam meningkatkan mutu pendidikan secara nasional.
Sikaf  beda pemikiran dan pemahaman desentralisasi pendidikan antara setiap daerah telah membangun gaps  dan berakhir pada munculnya ketimpangan-ketimpangan pendidikan antar satu daerah dengan daerah lain di Indonesia. Ketimpangan itu terlihat dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki, seperti masih adanya sekolah-sekolah yang tidak memenuhi standar kenyamanan dan keamanan, lingkungan sekolah yang tidak sehat; ketimpangan lain yakni mutu lulusan yang variatif dan tidak mencerminkan proses;  serta proses assesment dan penjaminan mutu pendidikan yang berbeda disetiap daerah yang kesemuanya itu disebabkan oleh rendahnya kepedulian terhadap pendidikan di daerah. Hal itu terjadi karena pemerintah daerah dalam melakukan penganggaran pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan.
Dari gambaran singkat di atas, secara implementatif penulis melihat bahwa ketimpangan sektor pendidikan terjadi dalam 5 hal yang krusial, yaitu (1) penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai, (2) pemberdayaan serta uji mutu tenaga pendidik dan kependidikan yang tidak berjalan baik, (3) bentuk proses pelayanan pendidikan di sekolah dan di kelas terhadap peserta didik tidak maksimal, (4) standar pengelolaan anggaran dan keuangan sekolah yang tidak akuntabel dan transparan, serta (5) rendahnya peranserta secara partisipatif masyarakat dan stakeholder terhadap pendidikan.
Untuk mereduksi dan resistensi ketimpangan itu, maka kita diminta untuk berpikir lebih cerdas, bahwa pendidikan itu merupakan hal penting utama yang harus diupayakan untuk dibangun sejalan dengan pembangunan yang lain di daerah. Artinya bahwa kebijakan politik daerah harus lebih peduli dalam melakukan perbaikan, pembaharuan proses layanan dan mutu pendidikan di daerah yang harus dilakukan dengan cara yang lebih arif dengan lebih mengutamakan pembangunan pendidikan sebagai investasi manusia masa depan, serta dengan tidak mengabaikan membangun dan memberdayakan kepentingan, kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.

Membangun Pendidikan yang Berbasis Data
Pembangunan pendidikan di daerah harus mempunyai suatu dokumen perencanaan jangka panjang yang akan dijadikan acuan bagi pelaksanaan program-program pendidikan ke depan. Perencanaan tersebut diharapkan dapat untuk mempermudah dalam mencapai tujuan dengan cara menyusun program dan kegiatan secara terpadu, terarah dan terstruktur, serta dibutuhkan suatu tolak ukur sebagai bahan evaluasi kinerja tahunan dari instansi terkait yang mengelola pendidikan di daerah.
Guna merencanakan hal tersebut, pemerintah daerah harus menyusun RIPP atau Rencana Induk Pengembangan Pendidikan yang mempunyai keterkaitan dengan Renstra (rencana strategis) Pendidikan di daerah. Penyusunan RIPP harus mengacu pada isu-isu strategis bidang pendidikan, serta tidak lepas dari kerangka kebijakan umum pendidikan di tingkat nasional, serta standar pelayanan minimal pendidikan di daerah.
Agar penyusunan RIPP dan Renstra Pendidikan sesuai dan tepat tujuan serta kebutuhan, maka penyusunnya harus berbasiskan data, agar nantinya bisa menjelaskan semua rencana yang dibuat.
Menurut Bergerson (2003) , yang dimaksud dengan “data” adalah bilangan, terkait dengan angka-angka atau atribut-atribut yang  bersifat kuantitas, yang berasal dari hasil observasi, eksperimen, atau kalkulasi. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Inggris (The Merriam-Webster-Collegiate Dictionary ) dalam Sangkala (2007) menyebutkan bahwa data adalah sesuatu  basis alasan atau pilihan, atau sesuatu yang digunakan sebagai basis perhitungan atau pengukuran.  Khususnya data pendidikan, berarti suatu angka atau bilangan yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari observasi, eksperimen dan kalkulasi yang dijadikan perhitungan dan pengukuran dalam mengambil keputusan dalam pendidikan. Data pendidikan itu penting untuk dijadikan informasi dan kemudian pengetahuan sebagai alat untuk membentuk pengetahuan (knowledge) agar mudah melakukan action dalam membuat kebijakan pendidikan. Kemampuan mengelola pengetahuan untuk dijadikan sumberdaya dalam manajemen guna meningkatkan inovasi dan daya saing dikenal dengan nama Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management). Artinya data merupakan sesuatu yang penting agar perencanaan dan pengelolaan pendidikan menjadi informasi yang akurat dalam menentukan arah dan tujuan yang ingin dicapai.
Data harus terkumpul secara periodik dan kontinyu setiap bulan, semester dan tahunan. Kesemua data tersebut harus selalu disinkronisasi dan dilakukan pemutakhiran data, sehingga data kemudian dapat dijalan informasi untuk pengambilan keputusan dan kebijakan. Perencanaan yang tidak berdasarkan data, tidak akan dapat bermanfaat dan bahkan akan terkesan mubazir dan tidak akan menyentuh sasaran dan tujuan. Sehingga perencanaan yang dibuat bersifat parsial, temporer dan tidak berkesinambungan. Kalau semuanya itu terjadi, maka perencanaan yang dibangun tidak akan bisa dilaksanakan sesuai harapan.
Agar bisa berjalan searah dan memenuhi maksud dari sebuah tujuan, maka data harus dikumpulkan, dianalisis dan kemudian dibuat pemetaannya secara benar. Hasil pemetaan itu kemudian harus dilakukan disosialisasikan dan jika perlu dilokakaryakan sehingga pemetaan yang dibuat dapat dijadikan dasar untuk program penyelenggaraan pendidikan serta dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan untuk penyusunan rencana pendidikan janga panjang yang benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan diterima oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pendidikan.

Inisiasi dan Strategi Pengambilan Keputusan
Anggaran pendidikan di daerah pada hakekatnya harus memenuhi ketentuan amanat undang-undang, serta pengelolaannya pun menurut UU Nomor 20 Tahun 2004 pasal 48 ayat (2), harus berdasarkan prinsif keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik (Depdiknas, 2005). Namun dalam kenyataannya hal itu jauh dari keinginan, sehingga pendidikan di daerah di Indonesia menjadi variatif dan tidak sinergis yang berujung pada ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lain.
Sebagai bentuk inisiasi pemerintah daerah hendaknya (1) membentuk tim khusus (task force) melakukan pemetaan dan perencanaan pendidikan melibatkan berbagai unsur pemerintahan daerah dan masyarakat, (2) data-data yang sudah ada kemudian dianalisis dan disinkronisasi dengan data-data yang dibuat oleh pusat melalui sebuah lokakarya atau sejenisnya, yang bertujuan untuk dijadikan masukan, koreksi data yang sudah, validasi dan melakukan verifikasi kembali data yang sudah ada untuk disinkronisasikan, serta kemudian tim yang dibentuk membuat rekomendasi-rekomendasi untuk rencana pengembangan pendidikan; (3) melakukan deseminasi data, analisis dan rekomendasi melalui lokakarya ditingkat kabupaten/kota dengan mengundang semua instansi dan stakeholder pendidikan guna memperoleh  koreksi dan masukan sehingga akan diperoleh hasil yang data yang sesuai dengan keinginan guna menyusun perencanaan pembangunan yang akan direkomendasikan pada pemerintah daerah.
Data yang diolah dan dianalisis akan menjadi suatu informasi yang valid dan berguna sebagai pengetahuan untuk kita melakukan action. Sebuah tindakan (action) tidak akan menyentuh sasaran, serta tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan jika tidak dibangun dari data yang akurat.
Implementasi di bidang pendidikan, data harus di dapat dari sumber yang tepat secara periodik dan kontinyu. Data yang didapat harus selalu di Update sehingga tidak akan kadaluarsa jika dibutuhkan. Informasi data yang selalu diupdate akan memudahkan dinas pendidikan dan stakeholder pendidikan dalam menyusun perencanaan pendidikan secara tepat dan akurat.
Adapun tujuan dari suatu perencanaan menurut Usman (2009) adalah untuk :
1)      Standar pengawasan, yaitu untuk mencocokkan perlaksanaan dengan perencanaan;
2)      Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan;
3)      Mengetahui siapa saja yang terlibat  (struktur organisasinya), baik kualifikasinya maupun kuantitasnya;
4)      Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan;
5)      Meminimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan menghemat biaya, tenaga, dan waktu;
6)      Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pekerjaan;
7)      Menyerasikan dan memadukan beberapa sub kegiatan;
8)      Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui, dan
9)      Mengarahkan pada pencapaian tujuan.
Perencanaan disusun agar pencapaian tujuan seperti sebuah garis liner  yang dilaksanakan sebagai sebuah proses dalam pencapaian tujuan. Tujuan yang dibangun harus dibangun sebagai sebuah sistem yang berdaya guna sehingga menghasilkan output produk yang memenuhi standar dan kualitas mutu yang kemudian akan menghasilkan outcome yang berkualitas tinggi. 

Upaya-upaya Mengatasi Ketimpangan Pendidikan
Kesiapan daerah menjadi faktor penting kesiapan daerah untuk melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan di daerah. Ketimpangan pendidikan sudah pasti ada antar setiap daerah, potensi dan SDA di daerah sangat berpengaruh pada lahirnya akselerasi pembangunan di daerah.
Ketimpangan pendidikan harus di atasi secara bersama melalui komitmen dan kesatuan pemahaman dan pemikiran yang sama dalam berpikir yang diolah secara cerdas, berbuat dan bertindak dengan jiwa serta semangat leadership yang kuat. Kesatuan pemikiran dan pemahaman serta perbuatan akan membuat semua permasalahan ketimpangan pendidikan yang besar menjadi kecil dan mudah diatasi.
Adapun upaya-upaya yang mesti dilakukan dalam mengatasi ketimpangan pendidikan di daerah dapat dilakukan dengan :
(1)          Memahami secara utuh makna dari desentralisasi pemerintahan dan desentralisasi pendidikan secara utuh, menyeluruh dan benar;
(2)          Membangun komitmen secara bersama bahwa pendidikan adalah sesuatu yang berharga dalam membangun manusia pendidikan dan berpengetahuan searah dengan tujuan pendidikan nasional;
(3)          Membuat perencanaan pendidikan yang berbasis data sebagai informasi yang dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam melakukan action pendidikan;
(4)          Menyusun dan melakukan penganggaran pendidikan sesuai standar kebutuhan optimal pendidikan yang berbasis proses, dan bukan berbasis membangun struktur pendukung pendidikan;
(5)          Membangun struktur organisasi, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang jelas sebagai sebuah sistem kerja terpadu dan terukur;
(6)          Melibatkan orang, organisasi dan stakeholder yang mengerti pendidikan dalam membangun pendidikan;
(7)          Mengutamakan skala prioritas dalam perluasan akses pendidikan berdasarkan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian jaminan;
(8)          Menyediakan sarana dan prasarana pendidikan berbasis penyelenggaraan pendidikan untuk semua masyarakat;
(9)          Melakukan revitalisasi pendidikan berbasis by class, dan cost unit sehingga pendidikan sebagai suatu proses pendidikan berjalan sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran bermutu guna pencapaian kompetensi dan mutu pendidikan;
(10)      Melakukan pendampingan dan perbantuan kepada peningkatan kompetensi guru melalui supervisi pendidikan klinis yang berorientasi “from control to help”.
(11)      Melakukan seleksi dan rekrutmen pengelolaan manajemen sekolah berstandar baku manajemen dan organisasi pendidikan dan MBS;
(12)      Melakukan audit  keuangan dan kinerja dalam pengelolaan manajemen sekolah secara periodik, terukur dan terarah;
(13)      Selalu melakukan monitoring dan evaluasi serta supervisi terhadap kinerja guru dan kepala sekolah dalam mengelola manajemen pembelajaran dan pendidikan sebagai upaya meningkatkan mutu peserta didik, guru, kepala sekolah sebagai sebuah kesatuan organisasi dalam MBS;
(14)      Mengupayakan sebuah proses pendidikan yang unik  untuk menciptakan produk pendidikan yang competitive advantive dan inovatif sebagai sebuah organisasi modern, serta upaya-upaya lain yang bisa memunculkan keunggulan dan keunikan pendidikan sehingga pendidikan di daerah menjadi bermutu.

Sebagai kajian utuh, maka upaya mengatasi ketimpangan pendidikan juga harus dibangun dari unit yang paling rendah yaitu kelas dan sekolah, bagaimana mengatasi upaya itu maka penulis mencoba sedikit menyumbangkan pemikiran sebagai berikut :
(1)      Penyediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
a.         Gedung dan lingkungan sekolah yang nyaman;
·    gedung sekolah yang memenuhi kenyamanan
·    sarana dan prasarana ibadah, olahraga, kantin, parkir yang memadai
·      lingkungan sekolah yang “hijau”.
b.        Ruang kelas yang representatif sejalan dengan pendidikan;
·      tersedianya alat kegiatan KBM yang memadai dan menunjang kebutuhan kebutuhan PBM yang bermutu
c.         Tersedianya sarana dan prasarana pendukung pendidikan, seperti : perpustakaan, laboratorium bahasa, Laboratorium IPA (SMA : Laboratorium Fisika, Biologi, Kimia), Laboratorium IPS, laboratorium komputer, ruang multi media dan PSB, serta sarana olahraga dan bermain siswa yang representatif, serta tempat parkir yang sesuai dengan keindahan.
(2)      Penyediaan Pendidik dan Tenaga Pendidikan yang Kompeten
·      mengarahkan kompetensi guru melalui peningkatan kualifikasi pendidikan
·      mengarahkan kompetensi guru melalui workshop, diklat dan kegiatan lain yang relevan dengan peningkatan kompetensi guru
·      melakukan kegiatan service dan in service pembelajaran di sekolah.
(3)      Pelayanan Proses Pendidikan yang Bermutu
·      Mengarahkan guru untuk melakukan proses pendidikan yang bermutu
·      Mengarahkan guru untuk melakukan proses pelayanan pendidikan yang bermartabat
(4)      Anggaran dan Pengelolaan Keuangan
·      Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di daerah menyusun program  dan kegiatan pendidikan berdasarkan data yang benar-benar mencerminkan keadaan yang sebenarnya (akurat) dan mutakhir secara terpadu, terarah dan terstruktur, harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kemampuan daerah serta melibatkan stakeholder pendidikan dan akuntabel (USAID, 2007: 3).
·      Sekolah merencanakan dan mengelola keuangan sekolah secara terencana, adil dan proporsional (USAID, 2007: 25), terukur, transparan dan akuntabel.
(5)      Rendah Partisipasi Masyarakat Terhadap Pendidikan.
·      Harus melibat guru, komite sekolah, stakehoder dalam merencanakan dan mengambil keputusan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatan mutu pendidikan;
·      Menciptakan demokrasi (memberikan kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak azazi manusia, serta kewajibannya dalam rangka untuk sekolah serta  stakeholder, meningkat mutu) pendidikan dikalangan guru dan komite;
·      Penciptaan lingkungan terbuka dan demokratis dimana warga sekolah dan masyarakat didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan;

Perbedaan adalah keunikan, keunikan adalah sumber daya. Sumber daya harus dikelola oleh orang, organisasi atau lembaga, dan manajemen pendidikan modern dengan kepemimpinan modern sehingga pendidikan akan mencapai tujuan yang sebenarnya.
Mulai saat ini marilah kita membangun komitmen, kejujuran dan kebenaran, kepemimpinan, manajerial, semangat kepedulian. Desentralisasi adalah proses yang membuat pembedaan pendidikan di setiap daerah, tetapi sengat desentralisasi telah membuka mata kita bahwa kemajuan dan kemakmuran itu harus dimulai dari bawah, dengan konsep otonomi daerah bahwa semua itu dimulai dari daerah kabupaten/kota. Semoga kita mulai belajar dari ketimpangan itu untuk membangun pendidikan di daerah agar lebih bisa membangun mutu pendidikan sejalan dengan amanat UUD 1945.
                                
*) Penulis adalah Mahasiswa S2 Program Magister of Management (Konsentrasi Manajemen Kepengawasan Pendidikan) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Beasiswa Kemdiknas Tahun 2011 yang berasal dari SMA Negeri 2 Tanjungpandan - Kabupaten Belitung – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung



Daftar Pustaka


Amtu, Onisimus (2011). Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah (Konsep, Strategi dan Implementasi), Bandung : Alfabeta.

Bergerson, Bryan (2003). Essential of Knowledge Management. New Jersey : John Wiley and Sons, Inc.

Depdiknas RI (2006), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta : Depdiknas RI

Halim, Abdul (2011). Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor Publik_Pemerintah Daerah, Yogyakarta : UPP-STIM YKPN Yogyakarta

Hanson, E.M (1998). Educational Reform and Administrative Development : The Case of Columbia and Venezuela, Stanford : Hoover Institution Press Stanford Univercity.

Kemdiknas RI (2011). Manajemen Berbasis Sekolah di SMP Pada Era Otonomi Daerah, Jakarta : Dirjend.Dikdas

Sangkala (2011). Knowledge Management, Jakarta : Rajawali Press

Sekretariat Negara RI (2005). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Jakarta : Setneg RI

Usman, Husaini (2009).  Manajemen (teori, praktik dan riset pendidikan), Jakarta : Bumi Akara

USAID (2007).  Good Practices in Education Management (Contoh Yang Baik Dalam Bidang Manajemen Pendidikan). Jakarta : USAID.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PELAYANAN PENDIDIKAN OLEH GURU DAN SEKOLAH DILIHAT DARI SUDUT PANDANG "SERVICES MARKETING IN EDUCATION"

CONTOH K2 KEPENGAWASAN SEKOLAH

SUPERVISI PENDIDIKAN DAN PARADIGMA BARU