PERAN KOMITE SEKOLAH :

PERAN KOMITE SEKOLAH DALAM MENDUKUNG SUMBER PENDANAAN PENDIDIKAN DITINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
Oleh : Garmawandi *)


Pendahuluan
Perubahan paradigma pengelolaaan pendidikan di Indonesia tak lepas dari upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang kemudian diimplementasikan dengan diselenggarakannya otonomi (penyelenggaraan) pendidikan. Reformasi Birokrasi sebagai bentuk implementasi Otonomi Daerah telah membawa arah pendidikan di Indonesia untuk berupaya untuk memberikan peluang pengelolaan pendidikan kepada semua stakeholder pendidikan yang dianggap sangat akan berperan penting dalam sukses penyelenggaraan  pendidikan nasional. Peran semua sektor, sebagai wujud kinerja kolektif diperlukan agar pendidikan nasional mengarah kepada visi dan misi, serta tujuan pendidikan nasional dianggap sangat penting ketika pemasalahan pendidikan mengalami stagnasi dan penurunan kinerja dan mutu pendidikan dalam segala sektor.
Pemberdayaan stakeholder pendidikan sebagai bentuk pemberian wewenang dan tanggung jawab diperlukan sebagai penjabaran makna implemantasi otonomi penyelenggaraan pendidikan yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menunjang kinerja sekolah sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan di masyarakat.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Indonesia, pada Pasal 56 Ayat (3) menyebutkan, bahwa :
“Komite Sekolah/Madrasah, dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan” (Depdiknas, 2003:49).  

Pemaknaan pemberdayaan stakeholder pendidikan pada Komite Sekolah dalam pada tingkat satuan pendidikan dunia di dunia pendidikan sebagai bentuk kerja organik manajemen pendidikan dalam mencapai sukses bersama, merupakan pemaknaan kinerja komprehensif dari setiap unsur komite dalam mengelola kemampuannya untuk  mencapai tujuan (goals) yang ingin diberdayakan dan dicapai oleh organisasi komite sekolah itu sendiri. Perspektif pemberdayaan (empowerment) dan pengembangan (development) pada organisasi satuan pendidikan sebagai bentuk pengelolaan pendidikan dengan melibatkan stakeholder diharapkan mampu membangun pendidikan di sekolah secara mandiri yang diberikan kewenangan yang luas serta tanggung jawab yang optimal. Untuk mencapai itu diharapkan agar peran dan fungsi komite sekolah sebagai salah satu komponen penunjang suksesnya penyelenggaraan akan mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal sehingga tujuan penyelenggaraan pendidikan akan searah dan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Dilematik kinerja Komite Sekolah saat ini memang dipertanyakan serta menjadi sorotan orang tua peserta didik, dimana peran dan fungsi komite sekolah saat ini masih dianggap sebagai “stempel” dan “mesin uang” sekolah. Komite Sekolah menjadi sebagai objek alat mencari uang demi terselenggaranya bantuan pendanaan pendidikan di sekolah. Komite hanya menjadi simbol dalam setiap kegiatan di sekolah yang digunakan sebagai alat legalisasi penyelenggaraan kegiatan pembangunan fisik di sekolah, yang akhirnya menimbulkan antipati dan apatis orang tua peserta didik terhadap kinerja Komite Sekolah sebagai sebuah unsur yang sebenarnya dianggap mampu memberdayakan dan mengembang organisasi dan pendidikan di sekolah.
Melihat paradigma dan dilematik Komite Sekolah sebagai mitra pendidikan sekolah yang memiliki peran aktif dalam menunjang suksesnya pencapaian mutu dan terbentuknya sekolah yang efektif (bermutu ?), maka peran komite harus mendapat prioritas dan legalitas proaktif dalam upaya mencapai sukses pendidikan tersebut. Komite harus mengambil peran  aktif sesuai dengan amanat UU Sisdiknas sebagai dimana komite sekolah sebagai sosok yang mampu memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah.
Paradigma baru pendidikan dengan melibatkan unsur masyarakat yang peduli pendidikan bukan merupakan sebuah barang baru. Komite Sekolah merupakan sebuah bentuk pembaharuan dari peran serta masyarakat yang sebelumnya di sebut dengan BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang peran dan fungsinya mirip, namun tidak menyentuh upaya pemberdayaan dan pengembangan. Komite Sekolah sebagai bentuk reformasi peran serta masyarakat merupakan translating dari upaya untuk menjembatani peran orang tua dan masyarakat pendidikan dan peduli pendidikan untuk lebih berperan secara lebih luas lagi sesuai dengan amanat reformasi. Komite sekolah tidak lagi berperan sebagai stempel dan mesin uang sekolah, tetapi komite harus berperan sebagai sebuah organisasi yang memiliki kewenangan dalam pengawasan pendidikan secara ekternal. Komite
Otonomi Daerah dan Otonomi Sekolah tidak lagi sebagai organisasi yang mencari dana yang kemudian dikelola oleh sekolah secara organisatoris, tetapi komite diharapkan mampu untuk mengelola dan mempertanggungjawabkan sendiri atas sumber dana yang didapatnya, selain itu juga komite harus berperan aktif dalam pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah sebagai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan secara keseluruhan.
            Selanjutnya, dengan adanya keterlibatan unsur Komite dalam penyelanggaraan pendidikan diharapkan mampu akan menciptakan suasana penyelenggaraan pendidikan yang bermutu secara utuh dan benar, serta terciptannya sekolah yang efektif tidak akan hanya menjadi jargon dan simbol saja dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Sumber Pendanaan Pendidikan di Indonesia
Semua kita sepakat bahwa pendidikan adalah penting dan primer bagi terciptanya kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa dan negera. Oleh karenanya, diharapkan adanya political will yang tegas serta berani untuk membawa bangsa ini menjadi semakin berkualitas, bermartabat, dan memiliki daya saing tinggi lewat prioritas sektor pendidikan. Memang pada dasarnya bahwa anggaran biaya pendidikan bukan merupakan satu-satunya faktor penentu berkualitasnya layanan dan produktivitas pendidikan, namun tak dapat dipungkiri bahwa tanpa biaya pendidikan yang memadai dan mencukupi sangat sulit untuk menciptakan suatu pendidikan yang bermutu di Indonesia, sehingga permasalahan mutu pendidikan tidak menjadi uthopia di Negera Indonesia tercinta ini.
Untuk menyikapi upaya itu, ada catatan penting dalam APBN 2009 hingga APBN 2012 saat ini, bahwa pelaksanaan amanat UUD 1945  tentang anggaran pendidikan di Indonesia sudah mencapai porsi yang ditentukan yaitu angka minimal 20% dari APBN yang ditetapkan, walaupun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia (27% dari APBN-nya), sedangkan Thailand dan Singapura serta Negara Vietnam pun yang pernah hancur akibat perang tidak pernah kurang dalam menganggarkan sektor pendidikannya di bawah 20% dari APBN-nya (Mulyono, 2010:63-64).
Guna menyikapi hal itu, agenda penyelenggaraan pendidikan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan harus merupakan agenda penting dan strategis serta harus memperoleh perhatian dari semua pihak guna memajukan pendidikan di tanah air, sebagai bentuk investasi modal manusia (human investment) yang akan menentukan kualitas SDM suatu bangsa dan negara di masa mendatang.
Dengan demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan disamping mempunyai manfaat ekonomi juga mempunyai manfaat sosial-psikologis yang sulit dianalisis secara ekonomi.  Namun pendekatan ekonomi dalam menganalisis pendidikan memberikan kontribusi sekurang-kurangnya terhadap 2 hal yaitu (1) Analisis efektifitas dalam arti analisis penggunaan biaya-biaya yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan; (2) Analisis efisiensi penyelenggaraan pendidikan dalam arti perbandingan hasil dengan sejumlah pengorbanan yang diberikan (Irianto, 2011: 51) 
Implementasi pembiayaan sumber dana pendidikan di tingkat daerah pada era otonomi daerah sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah (Amtu, 2010: 162); dimana pemerintah mengemban tiga fungsi yaitu fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Untuk kedua fungsi yakni distribusi dan stabilisasi dikelola oleh pemerintah pusat, sedangkan untuk fungsi alokasi ditentukan oleh pemerintah daerah, karena pemerintah daerahlah yang mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. 
Pemaknaan dari konsep diatas, bahwa sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintah Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan tujuan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, serta bertujuan juga untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah, serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Dari ketiga komponen dana perimbangan tersebut dilakukan melalui sistem tranfer dana dari pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
Dalam artian ini, sejalan dengan otonomi daerah yang mana pelimbahan pengelolaan dan penyelenggaraan otonomi pendidikan dilakukan di daerah kabupaten/kota, maka sumber pendanaan pendidikanpun dikelola dan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dimuat dalam APBD. Pemaknaan yang dimaksud adalah bahwa semua kewenangan dan pengelolaan sumber pendanaan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar dan menengah di kelola langsung oleh pemerintah kabupaten/kota yang dimuat dalam APBD yang didanai oleh APBN.

Konsep Pembiayaan Pendidikan
Salah satu persoalan dalam menerapkan pendekatan ekonomi dalam pendidikan adalah apakah investasi yang dilakukan tersebut memberikan keuntungan ekonomi ? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan disamping mempunyai manfaat ekonomi juga mempunyai manfaat sosial-psiologis yang sulit dianalisis secara ekonomi. Namun pendekatan ekonomi dalam menganalisisnya harus mampu memberkan kontribusi terhadap 2 hal yaitu analisis efektivitas yang berhubungan dengan pemanfaatan biaya dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan, dan analisis efisiensi yang berhubungan dengan perbandingan hasil dengan sejumlah pengorbanan yang dilakukan.
Manfaat biaya pendidikan oleh para ahli sering disebut dengan Cost Benefite Analysis, yaitu rasio antara keuntungan financial sebagai hasil pendidikan dengan hasil seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan.  Menurut George Psacharopoulos (1987) menyebutkan bahwa : “Cost benefit analysis is to compare the opportunity cost of a project with the expected benefit, measured in the term of the additions  to income that will accrue in the future as aresult of the investment”.
Mengukur manfaat biaya pendidikan sering didasarkan kepada konsep biaya pendidikan yang sifatnya lebih kompleks dari keuntungan, karena komponen-komponen biaya terdiri dari lembaga jenis dan sifatnya. Biaya pendidikan bukan hanya berbentuk uang atau rupiah, tetapi juga dalam bentuk biaya kesempatan (income forgone), yaitu potensi pendapatan bagi seorang peserta didik selama ia mengikuti pembelajaran atau menyelesaikan pendidikannya di satuan pendidikan. Jika diasumsikan biaya keseluaruhan (C) selama ditingkat satuan pendidikan terdiri dari biaya langsung (L), dan biaya tidak lansung (K), yang dirumuskan dengan : C = L + K, maka jelas sudah bahwa biaya pendidikan merupakan dasar empiris untuk memberikan gambaran karakteristik keuangan sekolah.
Manfaat keuntungan biaya pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi dan uang. Hal itu disebabkan, karena manfaat pendidikan bukan hanya dilihat dari nilai ekonomi saja namun juga memiliki manfaat dan nilai sosial lainnyal. Menurut Nanang Fattah (2002), bahwa keuntungan pendidikan tidak dapat diukur dengan standar nilai ekonomi dan uang, karena manfaat pendidikan selain memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial. Dalam kajian ini, pengukuran dampak pendidikan terhadap keuntungan ekonomi atau pendapatan seseorang dari produktivitas yang dimilikinya, sangat memerlukan asumsi-asumsi yaitu bahwa produktivitas seseorang dianggap merupakan fungsi dari keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari suatu pendidikan.
Secara umum terdapat empat indikator dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan yaitu : (1) dapat tidaknya seorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, (2) dapat tidaknya seseorang memperoleh pekerjaan, (3) besarnya penghasilan/upah atau gaji yang diterimanya, dan (4) sikap prilaku dalam konteks sosial, budaya dan politik. Sedangkan menurut Cohn (1979), dalam mengukur manfaat suatu pendidikan terdiri dari 3 (tiga) pendekatan, yaitu : 1) the simple correlation approach, 2) the residual approach, and 3) the returns to education approach.
 Intinya bahwa, setiap lembaga pendidikan perlu diberi keweangan dan tanggung jawab, peluang serta kemampuan untuk mengelola anggaran penerimaan dan pengeluaran biaya pendidikan dilingkungan sistemnya masing-masing, dengan asumsi bahwa upaya dan hasil pemerataan pendidikan adalah hak dan kewajiban bersama, partisipasi masyarakat, pemerintah, orang tua dan dunia usaha dalam pembiayaan pendidikan harus dipandang sebagai asset yang harus digali, sehingga sepenuhnya tidak menjadi beban pemerintah.
Adapun jenis dan tingkatan biaya pendidikan menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama RI (2000), memberikan kategori terhadap  6 komponen biaya pendidikan, yaitu (1) biaya langsung (direct cost) seperti gaji guru dan pegawai, pengadaan fasilitas belajar, ATK, buku rujukan guru, serta buku pegangan siswa; (2) biaya tak langsung (indirect cost) meliputi biaya yang dikeluarkan oleh siswa, orang tua dan masyarakat untuk menunjang keperluan tidak langsung, seperti  biaya hidup, pakaian, kesehatan, gizi, transportasi, atau biaya yang hilang selama pendidikan; (3) biaya pribadi (private cost) yaitu biaya yang dikeluarkan oleh keluarga untuk membiayai sekolah anaknya, termasuk biaya kesempatan yang hilang (forgone opprtunities); (4) biaya sosial (social cost) yaitu biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sekolah, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh oleh keluarga secara perseorangan (biaya pribadi). Menurut Jones (1990), biaya sosial dapat juga dikatakan sebagai biaya publik, yaitu sejumlah biaya sekolah yang ditanggung masyarakat; (5) biaya moneter (monetery cost), dan (6) biaya non moneter (non monetery cost).
Berkenaan dengan tingkatannya, pembiayaan pendidikan terjadi dibeberapa tempat dan tingkatan, yang meliputi lembaga satuan pendidikan yaitu sekolah, pengguna jasa pendidikan yaitu orang tua dan peserta didik, adminitratur pendidikan dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai dengan tingkat pusat.

Komponen Biaya Satuan Pendidikan di Sekolah
            Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan, sekolah selalu menyusun Rencana Pendapatan Dan Belanja Sekolah (RAPBS). Dimana dalam rencana pendapatan terdapat komponen sumber dana (pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat), sedangkan dalam komponen rencana belanja secara garis besar dibagi kedalam komponen gaji dan non gaji, dimana komponen gaji biasanya cenderung mendapat proposrsi yang terbesar sekitar 75-80%. Sedangkan komponen non gaji meliputi pengadaan alat pelajaran, bahan pelajaran, perawatan,  sarana dan prasarana, sarana sekolah, pembiayaan siswa, dan pengelolaan sekolah. Untuk komponen non gaji yang meliputi pembelian buku, tas, alat tulis siswa, pakaian seragam, biaya kursus, karya wisata, uang jajan, sumbangan insidental, perlengkapan alat belajar siswa tidak dimuat dalam RAPBS yang kesemuanya itu disusun dan diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku, yang disusun oleh semua komponen sekolah, komite sekolah, serta didampingi oleh pengawas sekolah.
            Komponen-komponen perencanaan dan pengelolaan RAPBS harus melalui kajian dan Konsep Cost Driver, yaitu kajian mengenai faktor-faktor yang mempunyai efek terhadap perubahan level biaya total untuk suatu objek biaya (cost object). Perubahan-perubahan biaya tersebut sering disebut Cost Pool, dimana Cost Driver sebenarnya merupakan Cost Pool dan Cost Object. Cost Object adalah jasa tempat biaya dibebankan untuk mencapai tujuan-tujuan penyelenggaraan program, sedangkan Cost Pool merupakan pengelompokkan biaya-biaya individual ke dalam kelompok tertentu (Blocher, et.al., 1999: 123). Maka dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penyelenggaraan satuan program pendidikan di sekolah dan madrasah merupakan Cost Driver.
            Adapun tujuan Cost Driver dalam penyelenggaraan satuan pendidikan adalah untuk meningkatkan efisiensi manajemen pendidikan secara ekonomik, maka atas dasar konsep tersebut dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan sistem manajemen pendidikan berbasis informasi biaya yang lebih akurat dan relevan untuk pengambilan keputusan, dan sebagai sistem informasi stratejik yang dibangun secara build-in dan integral dari suatu sistem penyelenggaraan pendidikan.
            Fungsi dari pengetahuan dari sistem manajemen ini yakni berfungsi sebagai sistem pelaporan internal maupun eksternal suatu manajemen pendidikan yang dijadikan sebagai alat pendekatan dalam menganalisis biaya penyelenggaraan pendidikan sehingga memberikan mengenai tingkat efektivitas yang berguna untuk pengambilan keputusan dalam pengembangan model-model pendidikan.

Komite Sekolah dalam Konsep Pendidikan
Sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) Pasal 8 yang menyatakan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”, yang kemudian juga dipertegas dalam pasal 9 yang menyebutkan bahwa “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (Depdiknas, 2003: 14). Mengenai peran serta Dewan Sekolah atau  Komite Sekolah sebenarnya telah ditegaskan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 02 April 2002 yang menyatakan bahwa peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan : (1) advisory agency (pemberi pertimbangan);  (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan); (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator (penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan peran tersebut, menurut Satori (2001), bahwa tugas dan fungsi Dewan Sekolah atau Komite Sekolah antara lain : (1) menetapkan AD dan ART Komite Sekolah, memberi masukan terhadap muatan RAPBS dan Rencana Strategis Pengembangan serta Pelayanan Sekolah; (2) menentukan dan membantu kesejahteraan personal, mengkaji pertanggungjawaban dan impelementasinya; (3) mengkaji kinerja sekolah dan melakukan internal auditing (school self assessment), merekomendasikan, menerima kepala sekolah dan guru. Selain itu, Dewan Sekolah atau Komite Sekolah membantu menetapkan visi, misi, dan standar pelayanan, menjaga penjaminan mutu sekolah (quality assurance), memelihara, mengembangkan potensi, menggali sumber dana, mengevaluasi, merenovasi, mengidentifikasi, dan mengelola kontribusi masyarakat terhadap sekolah sebagai satuan pendidikan. Artinya secara luas bahwa Komite Sekolah berfungsi sebagai mitra sekolah memiliki peranan penting guna menunjang kemajuan sekolah. Hal klasik yang selalalu menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan pendidikan di tingkat satuan pendidikan adalah faktor biaya, yaitu minim dan terbatasnya pendanaan biaya penunjang pendidikan sebagai alat untuk penunjang upaya peningkatan mutu pendidikan. Biaya sangat mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan yang dianggap memiliki nilai strategis dalam upaya penopang kinerja peningkatan penunjang peningkatan mutu pendidikan secara kontinyu.
Menurut Bray (1996) mengungkapkan bahwa pembiayaan pendidikan menyangkut sumber-sumber biaya baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan alokasi  belanja untuk pengajaran, termasuk pengeluaran sekolah untuk gaji dan berbagai pelayanan disetiap jenis sekolah. Dengan makna lain, bahwa yang dimaksud dengan pembiayaan pendidikan menyangkut sumber-sumber dan alokasi dana untuk penyelenggaraan pendidikan.

Peran Komite Sekolah dalam Pembiayaan Dana Pendidikan
            Konteks Komite Sekolah sesuai dengan perannya dalam upaya fungsinya sebagai mitra sekolah dalam memajukan pendidikan di sekolah masih sangat diperlukan sekali sebagai upaya pencapaian mutu pendidikan di Indonesia yang menurut banyak kalangan mengalami stagnasi dan penurunan dalam upaya pencapaian mutu. Banyak faktor penentu yang menyebabkan semuanya itu terjadi, salah satunya adalah minimnya sumber pendanaan pemerintah dalam upaya memacu peningkatan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Pemerintah masih berkutat pada standar pelayanan minimal, sedangkan sekolah harus mencapai peningkatan mutu yang selalu muncul dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.
Pertanyaannya adalah akankan pencapaian mutu pendidikan tercapai dengan sumber pendanaan pendidikan yang minim ada di satuan pendidikan ? Mungkin jawabannya bisa, namun sangat sulit untuk dilakukan dan dicapai. Upaya peningkatan mutu harus sejalan dengan sumber daya dan sumber pendanaan yang signifikan. Korelasinya jelas, bahwa sebuah kegiatan akan memiliki nilai manfaat, jika didukung oleh faktor pendukungnya. Dimana faktor pendukung itu adalah adanya ketersediaan sumber dana pembiayaan pendidikan dalam satuan pendidikan sebagai bentuk pencapaian mutu pendidikan secara optimal. Pertanyaannya ? dapatkah sekolah mengupayakan sumber pendanaan pendidikan tersebut sebagai bentuk upaya pemberdayaan dan pengembangan mutu organisasi sekolah sebagai upaya pencapaian mutu pendidikan ?
Jawabannya adalah kita semua harus mulai melakukan pemberdayaan Komite Sekolah dan segenap unsur sekolah untuk membangun komitmen dan kultur sekolah, serta sikap partipasi masyarakat sekitar, khususnya partisipasi orang tua peserta didik dalam membantu sumber dana pembiayaan sekolah yang minim tersebut. Siapakah yang harus berperan ? mungkin jawabannya semua pihak, tapi lebih khusus lagi pertanyaan itu kita fokuskan kepada peran Komite Sekolah sebagai stake holder dan mitra pendidikan pada satuan pendidikan.
Komite Sekolah, sebagai stakeholder dan mitra sekolah harus mulai peka dan peduli dengan segala kekurangan yang ada di sekolah, khususnya sumber pendanaan pendidikan yang minim dalam upaya membangun sekolah sebagai bentuk upaya peningkatan mutu sekolah secara competitive advanted dan competitive comparable.  Komite Sekolah harus berupaya untuk membantu sekolah dalam penggalangan dana masyarakat sebagai bentuk partisipasi dan peran serta masyarakat dalam membantu menyukseskan pencapaian mutu pendidikan. Penggalangan dana sebagai bentuk bantuan sumber dana pembiayaan pendidikan harus dilakukan secara kemandirian, kemitraan dan kerjasama, partisipatif, keterbukaan, dan akuntabilitas sejalan dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai bentuk implementasi otonomi penyelenggaraan pendidikan. Prinsif-prinsif MBS/MMT dalam pengelolaan sekolah sebagai organisasi satuan pendidikan perlu diberikan kewenangan dan tanggungjawab yang luas dalam bentuk pemberdayaan dan pengembangan organisasi/entitas/sekolah dalam satuan satuan pendidikan.  Initinya bahwa peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan akan tercermin dalam model pengelolaan pendidikan sesuai dengan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang menurut Slamet PH (2012), tujuan MBS itu untuk meningkatkan kinerja sekolah secara optimal melalui penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Kinerja sekolah meliputi kualitas, inovasi, efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Melalui MBS menurut Siskandar (2008), permaslahan internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya dapat dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ketingkat pemerintah daerah atau pun ke tingkat pusat. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumberdaya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik di tingkat daerah maupun nasional.
Artinya melalui peranan ini, Komite Sekolah berkewajiban untuk menjadi mitra sekolah dalam upaya pemberdayaan dan pengembangkan sekolah sesuai dengan perannya yaitu sebagai pemberi pertimbangan, pendukung layanan pendidikan, pengontrol kegiatan layanan, dan penghubung tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah dalam penggalangan partisipasi masyarakat untuk mendapatkan sumber dana pembiayaan pendidikan yang minim guna meningkatkan mutu pendidikan secara optimal, khususnya pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Pada konsep tatanan itu, maka pengembangan sekolah yang berbasis pemberdayaaan masyarakat sangatlah relevan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN, dimana konsep manajemen sekolah sudah mengutamakan pemberdayaan masyarakat, baik dalam partisipasi formal yang diatur secara hukum maupun partisipasi informal yang bergerak atas dasar keinginan sendiri. Sehingga, menurut Siskandar (2008), bahwa Komite Sekolah sebagai suatu institusi yang dapat menjadi mitra sekolah di dalam menjembatani berbagai keperluan dalam penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan agar berkualitas, transparan dan akuntabel.
Dari kajian di atas dapat ditegaskan bahwa tugas dan fungsi utama Dewan Sekolah atau Komite Sekolah memberikan masukan, pertimbangan, merekomendasikan pada satuan pendidikan dengan prinsip mendorong upaya peningkatan mutu akademik dan mutu layanan belajar di mana komite sekolah itu berada. Selain itu, tugas pokok dan fungsi Komite Sekolah adalah memberi bantuan, baik berupa pemikiran bagaimana cara mengatasi problematika sekolah maupun finansial untuk mendukung manajemen dan kegiatan belajar mengajar yang dibutuhkan sekolah, sehingga dapat meningkatkan dan memajukan mutu sekolah dalam hal bersaing dan berinovasi.
Sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/UU/2002, dijelaskan bahwa Komite Sekolah berfungsi sebagai : (1) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (2) melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (4) memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan; (5) mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; (6) menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan; (7) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan (Depdiknas, 2002).

Problematika Pemberdayaan Komite Sekolah
            Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga di dalamnya menjadi tanggung jawab masyarakat. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di satuan pendidikan. Mereka adalah pembayar atau pelanggan pendidikan, baik melalui pembiayaan langsung kegiatan sekolah maupun pajak, sehingga sekolah seharusnya bertanggungjawab kepada masyarakat. Masyarakat yang dimaksud tersebut tentunya sangat kompleks dan tak terbatas, sehingga tampak sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder  pendidikan.
            Ide dasar pembentukan Komite Sekolah antara lain berkaitan dengan adanya keinginan suatu organisasi yang dapat membuat dan membantu masyarakat terlibat dalam pendidikan, seperti dalam penyediaan dana sarana dan prasarana, bahkan pengelolaan pun agar dapat dilakukan langsung oleh komite tersebut. Salah satu cara untuk mewujudkan hal itu antara lain dengan mengembalikan “kepemilikan” sekolah kepada masyarakat. Melalui pola manajemen kemandirian ini, sekolah dimungkinkan menjadi milik masyarakat yang mendapatkan layanan perhatian secara optimal, terutama dari pihak stakeholder, dalam upaya peningkatan mutu secara berkesinambungan (Siskandar, 2008: 665).
            Problematika yang muncul saat ini adalah adanya keengganan kalangan masyarakat untuk ikut mengembangkan dan memberdayakan komite sekolah sebagai bentuk penciptaan hubungan partisipatif antara masyarakat dengan sekolah. Penciptaan hubungan kerjasama yang baik atas dasar kedudukan yang sama dengan penuh kesadaran akan kewajiban mengabdi pada bangsa dan negara, secara khusus kesadaran dan kewajiban untuk membangun pendidikan nasional secara keseluruhan. Hal itu dapat dilihat dari adanya keengganan orang tua peserta didik untuk hadir dalam rapat yang diadakan oleh sekolah berkaitan dengan kemajuan pendidikan, adanya sikap antipatif orang tua atas pendidikan anaknya bahwa dengan merasa tugasnya selesai apabila sudah menyekolahkan anaknya dan telah membantu membayar biaya partisipasi pendidikan (sumbangan komite sekolah), serta banyak lagi problematika pendidikan peserta didik yang tidak mendapat perhatian orang tua sebagai upaya membantu terciptanya proses pembelajaran yang efektif, berkualitas, inovatif dan bersaing dalam upaya peningkatan mutu pendidikan pada satuan pendidikan.
            Pemahaman lain terhadap keberadaan Komite Sekolah saat ini adalah sebagai mesin uangnya institusi sekolah yang tidak diikuti dengan pertanggungjawaban keuangan yang mandiri. Komite sebagai pencari sumber pendanaan sekolah, dan sekolah yang mengelola keuangannya, serta komite sekolah hanya dijadikan alat untuk legalisasi pendanaan kegiatan dan rutinitas sekolah. Sementara konsep keberadaan komite sekolah secara hakiki merupakan mitra sekolah dalam pemberdayaan dan pengembangan sekolah dalam upaya membangun dan meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan, khususya pendidikan dasar dan menengah.

Solusi dan Upaya Mencapai Sukses Sekolah
            Di era demokrasi dan partisipasi, transparansi serta akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, namun saat ini semua komponen itu harus berlaku menyeluruh dalam segala sektor, termasuk dalam manajemen sektor publik. Menurut Indra Bastian (2001) dalam Abdul Halim (2008) menyebutkan bahwa sektor publik adalah bidang yang membicarakan metoda manajemen negara. Entitas Sekolah dan Komite Sekolah merupakan entitas Sektor Publik yang secara prinsip adalah organisasi yang mengelola  uang dan keuangan negara, yang harus dipertanggungjawabkan secara keuangan negara.
            Komite Sekolah sebagai pencari dan pengelola sumber dana partisipasi masyarakat (orang tua peserta didik dan donatur lainnya) harus memahami bahwa dana yang didapat dan digunakan, pengelolaannya harus menganut prinsip-prinsip pengelolaan keuangan sektor publik, karena secara legalitas dana yang dikelola itu adalah keuangan negara yang menyangkut entitas atau organisasi resmi pemerintahan yakni pemerintah (sekolah negeri). Intinya bahwa, sumber pendanaan yang didapat dan dikelola oleh Komite Sekolah harus menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik dan benar.
            Pertanyaan yang muncul, sudah mampu dan sanggupkan Komite Sekolah melakukan pengelolaan keuangan yang diperolehnya sesuai dengan pengelolaan keuangan sektor publik? Jawabannya sederhana, bahwa mulai saat ini Komite Sekolah sebagai mitra sekolah harus mulai diberdayakan dan dikembangkan sebagai sebuah entitas yang akan mampu melakukan perubahan paradigmanya sesuai dengan keinginan masyarakat dan pemerintah sebagai sebuah organisasi mitra sekolah yang mampu memberdayakan dan mengembangkan satuan pendidikan, khususnya sektor pendidikan dasar dan menengah dalam upaya menciptakan dan membangun mutu pendidikan di Indonesia.
            Komite Sekolah tidak boleh lagi dijadikan “mesin uang” dan “alat legalitas sekolah” dalam pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan, akan tetapi Komite Sekolah harus dijadikan sebagai organisasi atau entitas yang secara bersama-sama mampu membangun sekolah melalui sebuah kerjasama harmonis dan saling pengertian agar terciptanya upaya membangun sekolah sebagai satuan pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat agar mencapai sukses pendidikan yang bermakna dan memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat.
Permberdayaan dan pengembangan Komite Sekolah dapat dilakukan dengan :
1)      Mensosialisasikan pemaknaan Peran Serta dan Partisipasi Masyarakat sesuai dengan Amanat UU No. 20 Tahun 2003 serta Amanat Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Peran serta masyarakat dalam pendidikan serta Peran serta Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah dalam satuan pendidikan secara utuh, benar dan menyeluruh berbasis konsep MBS dalam dunia pendidikan;
2)      Memberikan kesempatan dan peluang kepada Dewan Sekolah atau Komite Sekolah untuk melakukan kinerjanya membangun institusi pendidikan dengan melibatkan semua sektor pendidikan yang peduli dan berkepentingan terhadap kemajuan satuan pendidikan, terutama orang tua peserta didik dan stakeholder pendidikan yang berada disekitar sekolah;
3)      Memberikan kesempatan sebagai wujud pemberdayaan dan pengembangan organisasi Komite Sekolah dalam mencari dan mengelola sumber dana pembiayaan pendidikan secara mandiri, transparan dan akuntabiltas sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku sebagai wujud pertanggungjawaban pengelolaan keuangan berbasis manajemen pengelolaan keuangan sektor publik yang tepat;
4)      Memberikan kesempatan kepada Komite Sekolah untuk membangun sekolah melalui kerjasama internal maupun ekternal guna kemajuan pendidikan pada satuan pendidikan dimana mereka berfungsi dan berperan.
5)      Menjadikan Komite Sekolah sebagai Mitra sekolah yang akan mampu membangun pendidikan pada satuan pendidikan berdasarkan prinsip kepercayaan, kemandirian, partisipatif, transparan serta akuntabilitas secara utuh dan benar.

Rekomendasi  :
1)      Menjadikan Komite Sekolah sebagai Mitra Sekolah dalam membangun sekolah guna menciptakan dan meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan;
2)      Memberikan keleluasaan kepada Komite Sekolah untuk berperan secara aktif dalam arti yang sebenarnya sesuai dengan konsep MBS dalam membangun sekolah sebagai sebuah entitas sektor publik sesuai dengan konsep manajemen sektor publik;
3)      Memberdayakan dan mengembangkan Komite Sekolah sebagai bagian dari unsur sekolah yang ikut bertanggungjawab dalam upaya menciptakan dan membangun mutu pendidikan dalam satuan pendidikan;
4)      Jadikan Komite Sekolah sebagai pemberi pertimbangan, sebagai pendukung layanan pendidikan, sebagai pengontrol layanan pendidikan, serta mediator di satuan pendidikan dengan semangat demokrasi dan reformasi yang baik dan benar, yang intinya agar Komite Sekolah mampu berperan secara aktif guna melibatkan partisipasi semua unsur sekolah dalam membangun satuan pendidikan.

P e n u t u p
            Komite Sekolah sebagai Mitra Sekolah dalam membangun pendidikan di Indonesia pada saat ini masih sangat diperlukan dan dibutuhkan, sebagai upaya pemberdayaan (empowerment) dan Pengembangan (development) partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan yang selalu mengalami perubahan secara terus menerus dalam upaya membangun dan menciptakan pendidikan di Indonesia lebih bermutu dan bermartabat.
            Konsep pemberdayaan dan pengembangan organisasi perlu ditanamkan dalam entitas Komite Sekolah agar mereka mampu menggalang partisipasi dan kerjasama masyarakat, khususnya orang tua dan stakeholder pendidikan lainnya untuk membangun pendidikan dan mutu pendidikan di Indonesia agar mampu menghadapi tantangan globalisasi di era demokrasi dan reformasi saat ini.
            Memberikan peluang dan kesempatan yang utuh dan menyeluruh berdasarkan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang benar atas peran serta Komite Sekolah dalam membangun pendidikan di satuan pendidikan, sehingga satuan pendidikan akan mampu menunjukkan kemampuan bersaing, berinovasi secara ekonomis, efektif dan efisiendan  berkesinambungan sehingga mampu menjawab tantangan globalisasi sebagai bentuk upaya pencapaian mutu pendidikan di Indonesia.
            Komite Sekolah adalah Mitra Sekolah dalam membangun entitas sekolah dalam upaya membangun manusia Indonesia dengan prinsip-prinsip berkehidupan kebangsaan dan bernegara yang benar, yang diharapkan mampu membangun karakter manusia Indonesia yang utuh, benar dan memiliki nilai-nilai ke-Indonesia-an yang benar pula. Peran ini penting karena Indonesia saat ini sedang mengalami multi krisis salah satunya adalah krisis etika dan kepemimpinan yang baik.

Daftar Pustaka
Amtu, Onisimus. 2011. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah (Konsep, Strategi, dan Implementasi), Bandung : Alfabeta.

Bray, Marl. 1996. Decentralization of Education : Community Financing, Wasshington DC : World Bank.

Depdiknas RI. 2002. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 004/U/2002 tertanggal  2 April 2002 tentang Peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta  : Sekjend. Depdiknas RI

Depdiknas RI. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas RI

Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Halim, Abdul. 2008. Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintah Daerah, Yogyakarta : UPP STIM YKPN

Irianto, Yoyon Bactiar, dan Udin Syaefudin Sa’ud. 2010. Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional, Bandung : PT. Alfabetha.

Jones. 1985. School Finance : Technique and Social Policy, London : Collier Macmillan Oub.

Mulyono. 2008. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan, Yogyakarta : AR-RUZZ Media, Cet-I

Psacharopoulos, George. 1987. Economic of Education : Research and Studies. Oxford England : Pergamon Press

Satori, Dj. 2001. Pedoman Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat, Bandung : Dinas Pendidikan Jawa Barat.

Siskandar. 2008. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 073 Tahun Ke-14 (Juli 2008) “Peran Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”, Jakarta : Depdiknas RI.

Slamet PH. 2012. Handout Perkuliah Organisasi dan Manajemen pada Program Pasca Sarjana MM UGM Yogyakarta Kelas Kemdiknas 2011, Yogyakarta.




*) Garmawandi adalah Mahasiswa MM UGM Kelas Khusus Kemdiknas 2A Angkatan II Tahun 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PELAYANAN PENDIDIKAN OLEH GURU DAN SEKOLAH DILIHAT DARI SUDUT PANDANG "SERVICES MARKETING IN EDUCATION"

CONTOH K2 KEPENGAWASAN SEKOLAH

SUPERVISI PENDIDIKAN DAN PARADIGMA BARU